REMEMBER YOU: Ben, Kau Gila!


Ben menginjak rem mobilnya saat lampu rem Toyita Rush di depannya menyala. Ia tertegun menyadari kalau ia sudah mengendarai mobilnya sampai di perempatan lampu merah dekat rumah Hira. Entah sudah berapa lama ia menyetir dengan pikiran yang terbang kemana-mana. Lebih tepatnya kepada bayangan Pamela dan Tigor.

" Ben, lo ga apa-apa?" 

Sekali lagi Ben tertegun. Ia melupakan Hira yang sedari tadi duduk di sampingnya. 

" Lo kapan mau ke kantor JNE? Gua kira tadi kita mau sekalian kirim barangnya."

Ben melirik tumpukan bungkusan berwarna coklat lewat kaca spionnya dan menghela napas merasa payah. Bisa-bisanya ia melupakan banyak urusan. Sekali lagi bayangan Pamela dan Tigor menyelip diantara ruang-ruang ingatannya. Sangat mengganggu. Ben menggelengkan kepalanya berusaha membuang gangguan tak berguna itu. 

" Ben, lo ga apa-apa?" tanya Hira lagi, lebih kuatir karena melihat Ben menggelengkan kepalanya dengan keras. Seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari kepalanya. 

Ben menoleh pada Hira dan memandang cewe itu dengan rasa bersalah. Ia sudah mengajak Hira tapi malah memikirkan hal lain. Sepanjang jalan tadi berarti dirinya hanya diam dan melamun. Ia benar-benar merasa tidak enak. 

"Maaf, Ra. Aku melamun mikirin yang ga penting," sesal Ben. 

" Ga apa-apa kok. Kalau sampai ngelamun kayak gitu berarti penting banget." Hira tersenyum penuh pengertian semakin membuat Ben merasa tidak enak. 

Lampu lalu lintas menunjukkan warna kuning dan Ben berpikir keras cara membayar kesalahannya pada Hira. Ia melirik jam berbentuk Totoro di dashboardnya. Jam 12.30, mungkin ia bisa mentraktir Hira makan. 

"Ra, laper ga? Kita makan dulu yuk. Aku tahu tempat yang enak di deket sini."

Tanpa menunggu persetujuan Hira, Ben membelokkan mobilnya ke arah yang berlawanan dari jalan menuju rumah Hira. Hira yang duduk di sampingnya hanya bisa membuka dan menutup mulutnya, bingung mau menolak atau hayuuuk saja. 

Hanya 5 menit dari perempatan lampu merah dan mereka sudah sampai di Restoran dan Cafe Yang Penting Enak. Sebenarnya retoran itu tempat biasa Hira dan keluarganya makan bersama kalau Papanya Hira, Pak Danu, pulang untuk cuti dari pekerjaannya di kilang minyak di Sumatra Utara. 

" Pernah makan di sini?" tanya Ben setelah parkir dan menarik rem tangan mobilnya. 

Hira tersenyum simpul, "Sering."

" Deket sini ada kantor JNE juga, nanti sekalian kirim barang aja," saran Hira sambil melepas seatbeltnya. Ben mengangguk menyetujui dan segera turun dari mobil. 

Hira tampak bingung dengan gerak gerik Ben yang buru-buru. Cowo itu memutari mobil dan menghampiri pintu mobil Hira. Ia membukanya dan mempersilahkan Hira turun. 

Sebrengseknya Ben dulu, ia selalu ingat ajaran  Josh untuk memperlakukan perempuan dengan lembut. 

Hira yang mendapat perlakuan "tidak biasa" tampak gugup dan grogi. Ben menutup pintu mobil dan menyentuh bahu Hira pelan, menuntunnya ke arah pintu masuk restauran. 

Sekali lagi Ben membukakan pintu untuk Hira dan lonceng pintu berdenting pelan memberi tanda pada para pegawai ada tamu yang baru datang. Pelayan yang tidak melayani tamu serempak memberi salam, " Selamat datang! Kalau makan, Yang Penting Enak." 

Salah satu pramusaji mendekati Ben dan Hira dengan senyum ramah. 

"Untuk berapa orang?" tanyanya. Ben menunjukkan 2 jarinya tanpa bicara dan si pramusaji langsung menuntun mereka ke arah meja di dekat jendela dengan 2 kursi. Dari jendela bisa terlihat pemandangan taman kecil bergaya Jepang dengan pancuran kecil dari bambu. 

" Silahkan menunya, Kak. Saya Rika akan melayani pesanan kakak. Mau pesan sekarang atau nanti?" 

"Langsung pesan saja ya?" tanya Ben pada Hira sambil membuka-buka buku menu yang ada di hadapannya.

Sebenarnya Ben tidak perlu membuka buku menu itu lagi karena ia sudah tahu ingin memesan apa. Tapi mungkin Hira mau memesan menu tertentu. 

Hira yang di depannya tampaknya tidak perlu melihat-lihat lagi. Ia hanya membuka sebentar lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, sepertinya sudah tahu mau pesan apa. 

" Kwetiaw siram seafood  sama teh jasmine hangat ya," Hira menyebutkan menunya, sepertinya sudah sangat hapal. 

" Steak tenderloin mediumrare  dan lyche mint soda," Ben menyebut pesanannya dan menyerahkan buku  menu pada pramusaji. Setelah menyebutkan ulang menu yang mereka pesan, si pramusaji meninggalkan mereka dan perlahan suasana canggung diantara Ben dan Hira membayangi mereka. 

Ben menatap Hira tapi tak ada kata-kata yang ingin ia ucapkan. Ia hanya memandangi wajah imut gadis itu. Matanya yang besar menunjukkan setiap emosi yang ia rasakan. Seperti saat ini, kegugupannya tidak bisa ia tutupi. Sesekali mata itu mencuri pandang pada Ben lalu melihat ke arah jendela lalu ke arah handphone yang ia otak atik, entah mengecek apa. 

" Kamu sering ke sini bareng siapa?" tanya Ben. Memecahkan keheningan agar Hira tidak tersiksa dengan kegugupannya. 

" Sama ortu gue dan abang-abang gue. Kalo bokap lagi cuti, pasti kita makan di sini. Cuma di sini yang menu pilihannya banyak, rasanya enak tapi harga terjangkau, " jelas Hira. Ada kelegaan di matanya karena akhirnya Ben mengatakan sesuatu. 

" Kalo lo, sering ke sini juga?" tanya Hira balik. 

Ben mengangguk pelan dan bayangan Josh bersama Gaby bersenda gurau sambil saling mencuri sedikit makanan dari piring mereka masing-masing membayangi isi kepalanya. Josh dan Gaby sering mengajaknya makan di restoran ini karena alasan yang sama. Banyaknya pilihan menu dan rasa yang enak. Selain karena ini restoran milik orang tua Gaby.

" Dulu Josh dan pacarnya sering ajak makan di sini," jelas Ben sambil mengambil satu buah tusuk gigi dan memainkannya diantara sela-sela jarinya. 

" Josh?" tanya Hira. Sebelumnya Ben tidak pernah menyebut-nyebut tentang Josh. 

" Oh, iya. Dia kakak aku. Umur kami beda 2 tahun," Ben menjelaskan tanpa mau membahasnya lebih lanjut. Ia ingin berfokus pada Hira. Bukan kehidupannya sendiri. 

" Papa kamu kerja di mana?" tanya Ben, berusaha mengarahkan pembicaraan menjauh dari topik tentang dirinya. 

" Papa kerja di kilang minyak di SumUt. Biasanya pulang 6 bulan sekali. Tiap pulang pasti abang-abang gua nodong makan di luar. Ya, istilahnya waktunya Papa pulang itu waktu buat porotin dompetnya. Hahahha.."

Hira tertawa renyah mendengar ceritanya sendiri. Ben sendiri bisa membayangkannya. Wajah pria dewasa yang usianya tidak terlalu beda jauh dengan usia Papinya. Dengan kulit yang gelap dan kumis yang tebal. 

Ben masih bisa mendengar teriakan amarah pria itu di kepalanya. Teriakan amarah dan terluka melihat kondisi putri satu-satunya. 

" Sering kangen dong?" 

" Iya. Pasti. Papa manjain gua banget. Tapi sekarang enak kan bisa video call. Bulan depan ini Papa mau pulang nanti gua kenalin yaa.."

Ben tersenyum, merasa tersanjung dengan keantusiasan Hira mengenalkannya pada orang yang ia anggap penting. Tapi rasa tersanjung itu hanya sekilas dan berganti dengan debaran rasa kuatir membayangkan respon Papa Hira melihat wajah Ben.

" Ben?"

Ben terbangun dari lamunannya, hendak menanggapi panggilan Hira. Tapi tatapan gadis itu ke arah belakang punggungnya menyadarkannya bukan Hira yang memanggilnya. Ben menoleh dan di belakangnya Gaby tampak pucat menatap Hira dengan mata terbelalak.

" Gaby... Hira, sebentar ya."

Tanpa menunggu jawaban Hira, Ben bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Gaby dan menariknya menjauh dari pandangan Hira. Ben membawanya ke ruang makan khusus para perokok yang tampak lengang, tidak ada pelanggan.

" Dia... Kenapa kamu bisa bareng sama dia?" tanya Gaby, bingung sekaligus takut.

" Ga ada apa-apa, Gaby. Tolong rahasiakan ini dari Papi Mami ya. Jangan obrolin juga sama Josh. Ok?"

" Tapi, Ben. Kamu gila apa? Keluarga dia tahu kamu jalan dengan dia?"

Ben menggeleng dengan kepala tertunduk. Pertanyaan Gaby membuatnya bergidik membayangkan makian yang akan ia terima lagi.

" Ben, kamu jangan bikin masalah lagi, please. Udah cukup Josh jadi kayak sekarang demi lindungin kamuuu!"

Rasanya seperti dipukul palu godam. Kata-kata Gaby dan nada suaranya yang tiba-tiba meninggi memukul jantung Ben dengan keras. Selama ini Gaby tidak pernah menunjukkan emosinya pada Ben dengan kondisi Josh yang seperti sekarang. Ben tidak tahu kalau ada amarah dalam hati Gaby. Sudah pasti Gaby menyalahkan Ben atas apa yang terjadi pada Josh.

Ben mengangkat wajahnya dan memandang Gaby. Calon iparnya itu tampak gemetar berusaha menahan air matanya. Napasnya memburu menahan emosinya yang seperti akan meledak. Ia akan mengatakan sesuatu tapi menahannya dan meninggalkan Ben tanpa bicara lagi.

Gaby pergi ke kantor staf melewati meja Ben dan Hira. Sebentar ia memperlambat langkahnya untuk melihat sosok Hira, memastikan lagi kalau ia tidak salah lihat. Ternyata itu memang dia. Ben benar-benar gila.

***

SEBELUMNYA | SELANJUTNYA





Pic: https://pixabay.com/photos/restaurant-gastronomy-guest-room-3597677/


Dilarang mengcopy postingan di blog ini tanpa seizin penulis. Untuk penggunaan content atau kerja sama silahkan hubungi author di email lasma.manullang230@gmail.com. Terima Kasih.



0 Comments