REMEMBER YOU: Luka




" Thank you yaa, Ben. Lo jadi sering anter pulang gua," Hira melepaskan seatbeltnya dan memandang Ben dengan tulus karena telah banyak menemani Hira beberapa hari ini. Sejak Jenny makin sibuk dengan persiapan sidang skripsinya, Hira agak merasa kesepian. Ben seperti malaikat penghibur yang dikirim untuknya agar memberinya rasa nyaman.

" Aku seneng kok bisa anter jemput kamu," jawab Ben tulus dengan mata yang sungguh-sungguh. Ia seperti ingin meyakinkan Hira bahwa ia tidak ada maksud jahat.

Lama Hira terpukau dengan ekspresi Ben yang sangat serius. Sebulan ini, Ben tidak pernah absen membuatnya merasa terkesima. Perlakuannya terhadap Hira tidak pernah ia dapatkan dari cowo mana pun. Sikap yang baik, sopan, lemah lembut. Sejujurnya, Hira semakin hari semakin baper.

Terkadang Hira membayangkan hubungannya dengan Ben seandainya lebih dari teman. Ada kemungkinan itu tapi... 

" Hira.. aku sebenarnya..." 

Mendengar dua frasa itu keluar dari mulut Ben, Hira terbangun dari lamunan dan buru-buru membuka pintu mobil. Ia tidak siap. Tidak siap untuk saat ini. Hira masih belum yakin dengan perasaannya.

"Thank you, Ben. Bye!"

Ben tampak bingung seperti biasanya setiap kali Hira memotong kalimatnya yang dimulai dengan 'aku sebenarnya'. Hira tidak peduli dengan kebingungan Ben dan segera berjalan ke arah pintu gerbang rumahnya. Mungkin Ben akan menganggapnya memanfaatkan kebaikannya dengan sikapnya seperti ini, tapi mau bagaimana lagi. Ia benar-benar tidak siap melangkah ke hubungan yang lebih serius. 

Tadinya Hira mau cepat-cepat masuk rumah karena merasa tidak enak pada Ben, tapi langkahnya melambat saat melihat seorang wanita seusia ibunya berdiri di depan gerbang sambil celingak celinguk.

"Ibu, ada yang bisa dibantu? Cari siapa ya?"

Wanita itu tampak sangat terkejut mendengar sapaan Hira. Ia menatap Hira dan langsung terpaku. Mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan kata-kata. Apakah dia bisu?

Ia tampak seusia mamanya. Pakaiannya sederhana. Gaun berlengan panjang semata kaki berwarna coklat tanah. Tampak sudah agak lusuh. Hira bisa mencium aroma kayu bakar dari tubuhnya. Apa mungkin dia datang dari kampung yang masih tradisional sekali? 

" Bu, kenapa? Ibu cari siapa? Cari Mama saya?"

Wanita itu mengangguk ragu. Sepertinya ia benar bisu.

" Inggeh. Saya datang dari Jogja..." jelas ibu itu dengan suara logat medok Jawanya. 

Oh, dia tidak bisu, Hira menyimpan kembali rasa ibanya, berganti dengan rasa ingin tahu. Setahu Hira, ibunya tidak punya kenalan orang Jogja. 

" Mbayuuu..." 

Tahu-tahu Riana sudah di teras. Ia tampak terkejut melihat Hira berdiri di dekat ibu itu. Bergegas ia mendekat dan membukakan pagar. 

" Kok.. Bisa bareng?" tanya Riana, lebih kepada Hira. 

" Hira baru sampe tadi. Trus liat ibu ini."

Hira memandang ibu itu lagi dan tersenyum   tulus. Ibu itu memandangnya dalam-dalam dan Hira bisa melihat air mata yang hampir tumpah di sana. 

Apakah ada yang salah? Apakah dia mengenal ibu ini sebelumnnya? 

" Ini Ibu Minten. Teman Mama dari Jogja," jelas Riana dengan cepat. Ia merangkul Bu Minten dan membantunya membawa koper hitam yang Hira baru sadar sejak tadi ibu itu tenteng. 

" Gimana tadi di jalan Mbayu? Pasti capek sekali ya?" 

Riana menuntun Minten memasuki rumah. Hira yang berjalan di belakang mereka mulai merasa ada sesuatu di kepalanya. Ia merasa pernah melihat ibu itu tapi tidak ingat di mana. 

Beberapa kali Minten menoleh ke arah Hira, berusaha untuk bisa melihat sosok Hira lebih lama. Awalnya Hira merasa risih, tapi makin lama dilihat seperti itu, Hira jadi penasaran. 

Mungkinkah dia mengenal ibu ini sebelum kecelakaan?? 

"Mbayu udah makan belum? Saya masak semur jengkol, ikan bakar, sayur asem, ada sambel dabu-dabu juga."

" Iya, makasih looh Mba. Saya masih kenyang."

" Aku bikinin teh deh Mam," 

Hira meletakkan tasnya di kursi meja makan dan menyiapkan 3 cangkir teh beraroma melati. Ia memutuskan untuk duduk bersama ibunya dan Bu Minten. Ia penasaran. 

" Loh, bikin tiga Ra?" tanya Riana begitu Hira meletakkan 3 cangkir teh dan setoples nastar di atas meja tamu.

" Iya, satu lagi buat Hira."

Dengan tenang Hira duduk di single sofa dan mengambil cangkir tehnya. Aroma melati yang menenangkan membuatnya sedikit rileks. Dari balik cangkir teh saat ia minum, ia bisa melihat ibunya dan Bu Minten saling melirik dengan gugup. Mereka berharap Hira tidak ada di situ. 

Ada yang mereka sembunyikan. 

" Kok diem sih Ma? Hira ganggu ya?" 

" Ngga! Ngga kok cah ayuu..." Bu Minten menyambar dan berusaha untuk terlihat tenang. 

" Saya ini temen ibu kamu. Ke Jakarta mau pengobatan. Ada tumor jinak di payudara. Harus diangkat." jelas Bu Minten tanpa ditanya. 

" Ga ada anak yang nemenin Bu?" tanya Hira. Ibu Minten tampak seusia ibunya, tidak aneh kan kalau Hira pikir dia punya anak? 

" Anak saya sudah meninggal. Ada menantu, tapi lagi sakit. Ga bisa nemenin." 

Ibu Minten menjelaskan dengan lirih. Tampak sangat bersedih. Sepertinya anaknya belum lama ini meninggal. 

Suasana rumah tiba-tiba terasa suram. Hira ingin sekali mengucapkan maaf dan turut berduka, tapi lidahnya seperti membeku. Ia menyeruput tehnya beberapa kali. Ia merasa tidak nyaman...

Seperti..serangan paniknya akan muncul... 

Hira meletakkan cangkir tehnya dan langsung berdiri. 

"Saya permisi duluan ke kamar ya bu. Ma, Hira nanti makan di kamar aja ya." mohon Hira dan tanpa menunggu persetujuan Riana, ia langsung pergi ke kamarnya di lantai dua. 

Ia meletakkan tasnya di meja belajar dan membukanya dengan cepat. Ia merogoh-rogoh ke dalamnya dengan frustasi. Ia yakin tadi pagi meletakkan obatnya di dalam tas. 

Hira mengeluarkan semua isi tasnya dan akhirnya ia menemukan obat yang diresepkan Dokter Eril. Serangan paniknya entah kenapa kembali sering muncul, mau tidak mau ia menghubungi Dokter Eril untuk meresepkannya obat lagi. Ia tidak mau berakhir seperti dulu, membuat semua orang bingung dan tidak bisa melakukan apa pun dengan baik. Ia tidak mau menyusahkan orang-orang lagi.

Perlahan ia bisa merasakan rasa nyeri mulai merayapi punggungnya, gumpalan besar mulai menggelembung mengisi rongga dadanya. Ia merasakan kesedihan dan ketakutan yang beberapa hari lalu ia rasakan. Rasanya ia mau mati saja. 

Hira menyambar obatnya dan botol air minumnya. Ia sudah meminum obatnya beberapa hari ini. Cukup membantunya untuk tidur nyenyak tanpa ada mimpi aneh-aneh. Dokter Eril bilang kemungkinan ingatan Hira sedang memaksa keluar tapi Hira sendiri tidak siap untuk menerimanya. Itu sebabnya, ia mengalami panik di saat-saat tertentu.

Tok! Tok! 

Tepat saat Hira menelan pilnya, pintu kamarnya diketok dan pintu dibuka perlahan. Riana membawakan Hira makanan dengan wajah ragu. 

" Abis minum obat?" tanya Riana sambil melirik botol obat yang ada di tangan Hira. 

Hira mengangguk pelan. Meletakkan botol obatnya dan menanggalkan pakaiannya. Ia mengambil pakaian santainya dan mengenakannya dengan cepat. Mulutnya tertutup rapat, tidak berniat bertanya pada Riana walau ia bisa merasakan kalau ibunya ingin mengatakan sesuatu. Ia hanya ingin istirahat.

" Hira..."

Panggilan lembut Riana mengurungkan niat Hira untuk langsung berbaring di ranjangnya. Ia duduk di pinggir tempat tidurnya dan menerima piring yang terisi nasi, lauk dan sayur kesukaan Hira. 

" Kenapa, Ma?" tanya Hira sambil menyantap makanannya perlahan.

" Kamu.. Ga suka ya Bu Minten tinggal di sini?" tanya Riana ragu. Hira bisa melihat Riana begitu berhati-hati dengan pertanyaannya agar Hira tidak tersinggung. Hira sendiri bingung kenapa ia harus tersinggung?

" Ga, Ma. Memang kenapa?"

" Tadi, kamu keliatan ga suka..."

" Bukan... Itu, Hira ngerasa mau kumat. Sedih denger anaknya ternyata sudah meninggal.." 

Hening. Kalimat terakhir Hira membuat kamarnya terasa lebih hening dari biasanya. Suara sendoknya mengaduk-aduk nasi membuat suasana kamarnya semakin kosong. Riana tidak mengatakan apa pun, Hira hanya tertunduk memandangi nasi yang ia aduk, kepalanya mengingat wajah Bu Minten saat menceritakan tentang anaknya.

" Tapi... Bu Minten beneran belum pernah ketemu sama Hira, Ma? Hira ngerasanya kenal banget sama mukanya." 

Hira memasukkan satu suap nasi dan telur dadar ke dalam mulutnya sambil berusaha mengingat pernah bertemu Bu Minten di mana. Wajahnya tidak asing, tapi ia tidak bisa ingat pernah bertemu di mana. Mungkin jauh saat dia masih kecil. Jangan-jangan Hira mengenal anaknya.

" Hira kenal anaknya, Ma?"

Riana mengangguk pelan, wajahnya tampak lebih layu dari sebelum ia masuk kamar Hira.

" Dih, siapa Ma?"

" Kamu kenal Reymundo?"

" Uhukkkk!!!" 

Mendengar nama Rey, Hira lupa cara menelan. Cepat-cepat ia mengambil air minum dan menenggaknya banyak-banyak.

" Reymundo? Rey? Temen 1 kampus Hira, Ma?"

Riana mengangguk dengan wajah semakin kisut. Hira bisa melihatnya menahan tangis. 

Sementara itu ia berusaha mencerna dan mencocokkan semua informasi yang baru ia terima. Anak Bu Minten sudah meninggal dan tahu-tahu ibunya bertanya tentang Rey. Jadi, Rey anak Bu Minten yang sudah meninggal? Rey sudah meninggal??

Tepat saat menyadari kesimpulan dari semuanya, wajah Rey terbayang di kepala Hira. Senyum isengnya yang selalu menghiasi wajahnya setiap kali berhasil membuat Hira naik pitam.

Hira meletakkan piringnya di atas meja belajarnya. Tangannya tiba-tiba terasa lemah. Energinya tiba-tiba terasa tersedot habis.

Hati dan isi kepalanya berdebat. Ia tidak percaya kalau Rey sudah meninggal. Manusia satu itu tidak mungkin sudah meninggal. Diantara semua manusia, malaikat maut pun sepertinya ogah membawanya ke akhirat. Ia terlalu iseng dan menyebalkan....

Dia tidak mungkin...

" Hira!!"

***

" Tante, aku udah pesenin bahan-bahan yang cocok buat design bolero kemarin. Nih, motifnya." Pamela menunjukkan  foto-foto dalam galeri ponselnya dengan antusias. Laurent yang sibuk dengan ponselnya, menggeser duduknya dan memperhatikan apa yang diperlihatkan Pamela padanya. Tidak salah ia mengajak gadis itu bekerja sama, motif-motif pilihannya benar-benar bagus dan selera anak muda.

" Ih, Tante ga salah deh milih kamu buat koleksi terbatas edisi musim ini. Ini bagus-bagus banget. Kirim ke tante ya foto-fotonya." 

Laurent mencubit pipi Pamela lembut. Pamela tersipu mendapat perlakuan manis dari Laurent. Dia sudah seperti ibunya sendiri. Bertahun-tahun ia berteman dengan Ben, Laurent selalu menyambutnya dengan baik.

" Terima kasih sudah menjaga, Ben." kalimat itu berkali-kali ia ucapkan pada Pamela setiap kali ada kesempatan. Laurent selalu membuat Pamela merasa tersanjung.

Terkadang, sekalipun Pamela memiliki perasaan pada Ben, ia berharap persahabatannya dengan Laurent tidak akan berubah seandainya Ben menikah dan berkeluarga dengan orang lain . Persahabatannya dengan Laurent dan perasaannya pada Ben sudah menjadi dua hal berharga.

" Tante lagi sibuk ya?" tanya Pamela saat melihat Laurent kembali berkutat dengan smartphonenya.

" Ga... Ini, Tante ragu mau hubungin atau ga..."

" Siapa, Tante?"

Mendengar pertanyaan Pamela, Laurent menurunkan kacamata bacanya dan memandang Pamela dengan serius. Ia sepertinya menimbang-nimbang apakah ia bisa menceritakannya pada Pamela atau tidak. Tapi Pamela orang yang bisa dipercaya, pendapatnya mungkin bisa jadi pertimbangan.

" Itu...Kamu tahu perempuan yang dulu kecelakaan? Satu tahun lalu..." tanya Laurent ragu-ragu. Hanya Pamela, teman Ben, yang tahu tentang kecelakaan yang dialami Josh dan Ben 1 tahun lalu. Sisanya tidak ada yang tahu karena Boas cepat-cepat membayar media untuk menutupinya.

" I..Iya.. Tante..."

" Tante ketemu di rumah sakit. Dia berobat ke psikiater, amnesia..."

Pamela menelan ludahnya. Ia tahu persis siapa yang sedang Tante Laurent bicarakan. Wajah Hira langsung memenuhi kepalanya.

" Tante ragu-ragu, harus hubungin atau tidak. Ayahnya dulu marah sekali dan minta kami untuk tidak mendekatinya. Bahkan mereka tidak mau menerima bantuan dana dari kami. Mereka sempat mau menuntut, tapi entah bagaimana tuntutan itu dicabut. Boas bilang ia tidak membayar sepeser pun, mereka berinisiatif sendiri. Mereka kehilangan seorang anak dan kita di sini masih menunggu Josh bangun..."

Pamela menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia takut memikirkan Tante Laurent akan melibatkan dirinya dengan Hira juga. Ia merasa situasi akan semakin buruk jika ia melakukannya.

" Tante...merasa bersalah. Apalagi anak itu baik sekali..." 

Laurent menarik napasnya dalam-dalam, mengingat bagaimana Hira menolongnya agar tidak sampai jatuh dan membentur lantai. Gadis itu tampak sehat tapi ternyata sakit di dalam. Entah bagaimana ia bisa membayar kesalahan keluarganya.

" Tante...Menurut Ela...Kalau keluarganya memang ga mau diganggu, mungkin sebaiknya..."

Pamela tidak menyelesaikan kalimatnya saat Laurent tiba-tiba menatapnya tajam. Apakah ia salah bicara?

" Maaf, Tante. Ela ga bermaksud..."

" Ga, Ela. Kamu benar. Kalau keluarganya tidak mau diusik, kita harus hormatin. Tapi kalau mereka datang meminta bantuan apa pun, Tante pasti akan menyambut..."

Rasanya seperti beban berat diangkat dari kepalanya. Pamela merasa lega sekali mendengar kata-kata Laurent. Kalau sampai Tante Laurent ikut berhubungan dengan Hira, berapa banyak lagi rahasia yang harus Pamela simpan?

"Pengusaha B mengumumkan rencana pernikahannya dengan asisten pribadinya di Instagram. Dengan bahagia dan bangga mereka juga menceritakan  kehamilan calon istrinya yang sudah di trimester 2. Netizen yang melihat hal ini murka dan membanjiri media sosial mereka dengan komentar-komentar pedas. Sampai saat ini kami belum bisa mendapat keterangan dari mantan istri B  yang masih dalam proses cerai...."

Kalimat pembuka sebuah acara gosip di televisi membuat semua orang di dalam butik berhenti bekerja beberapa saat. Mereka saling memandang lalu melihat Laurent dengan penuh iba. Ci Yuli buru-buru mengambil remot tv dan mematikannya.

Pamela menoleh pada Laurent dan wanita itu berusaha untuk bangun. 

" Kalian kembali bekerja saja. Saya mau ke dapur dulu...."

" Tante..." Pamela ingin menemaninya tapi mengurungkan niatnya melihat tangan Laurent terangkat dan memintanya untuk  tetap di tempat.

Pamela menyambar handphonenya dan langsung menghubungi Ben...

" Ben, udah liat berita?"

***

Tangannya gemetar membuka lemari dapur. Di balik toples kopi dan  gula, ia menyembunyikannya di sana. Botol wiskinya.

Ia membutuhkannya, minuman keras. Alkohol membantunya mengurangi ketegangan dalam dirinya. Ia butuh merasa relaks dan tenang.

Laurent membuka botol wiskinya dengan cepat dan menenggaknya. Rasa panas langsung melewati kerongkongannya dan melewati saluran hidungnya. Perlahan ia merasakan tubuhnya menjadi lebih santai. Ia menenggak lagi, ia ingin merasa lebih tenang.

Ia ingin melupakan laki-laki bangsat itu.

Ia ingin melupakan berita tadi.

Ia tidak membutuhkan laki-laki itu. Biarkan saja dia menikah dengan gundiknya.

Ia tidak peduli lagi. Tidak peduli sama sekali.

Laurent berusaha menahan rasa sakit hatinya. Tapi wajah Boas dan Bunga yang tertawa bahagia menusuk ulu hatinya semakin dalam. 

Laurent menjerit histeris. Ia tidak bisa mengeluarkan tawa laki-laki itu dari kepalanya.

" Dia merebut suamiku!! Perempuan murahan!!" 

PRANG!

Ia melemparkan botol wiskinya ke arah tembok seolah dengan cara itu bayangan Boas yang menatapnya dengan sinis bisa lenyap. Tapi bayangan itu masih ada.

Laurent mendekat ke arah tembok dan membenturkan kepalanya berkali-kali. Kalau pria itu  tidak hilang juga dari kepalanya, mungkin kalau dirinya mati semuanya akan selesai.

" IBUUUU!!" 

Ci Yuli mendorong masuk ke dalam dapur dan langsung memeluk Laurent dari belakang. Beberapa pegawai lain langsung membantu menenangkan Laurent yang terus memberontak ingin membenturkan kepalanya.

Sementara itu Pamela hanya bisa terpaku melihat Laurent yang biasanya terlihat anggun dan tenang, meronta-ronta dan menjerit minta dilepaskan. Ia tahu Laurent punya gangguan mood tapi belum pernah melihatnya saat sedang kolaps. Inikah yang dihadapi Ben setiap kali ibunya kumat?

" Ben, cepat  ke sini." bisiknya pada Ben di seberang telepon.

***



SEBELUMNYA|BERAMBUNG

Dilarang mengcopy postingan di blog ini tanpa seizin penulis. Untuk penggunaan content atau kerja sama silahkan hubungi author di email lasma.manullang230@gmail.com. Terima Kasih.




0 Comments