"Berapa lama?" Aku bertanya tanpa memandangnya.
" Tiga bulan."
Tiga bulan bukan waktu yang lama. Dia pernah meniggalkanku selama 6 bulan dan aku bersabar menantinya dalam kesetiaan.
Tapi.. itu waktu kami masih pacaran. Belum ada status ikatan. Belum ada cicin di jari manis kami. Belum ada si kecil di dalam perutku.
"Ga bisa ditolak ya?" tanyaku bergetar dan dengan senyuman yang kaku.
Aku tahu pasti jawabannya, tapi masih berharap dia punya jawaban lain.
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Malahan ia memandangku dengan tatapan sedih.
Ah, seharusnya aku tidak seperti ini. Seharusnya aku melepasnya dengan keberanian. Supaya ia bisa tenang saat bertugas.
Bukankah aku sendiri tahu bahwa ini adalah salah satu resiko menjadi istri seorang abdi negara. Seorang tentara.
" Maaf, ya sayang." Bisiknya sambil menarikku dalam pelukannya.
Aroma parfumnya yang bercampur dengan keringatnya menyeruak mengisi kepalaku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Selama 3 bulan aku akan merindukan wangi ini.
" Ga apa kok. Beritanya agak mendadak aja. Kamu ga usah kuatir. Aku akan jaga diri. Ada ibu juga yang nemenin aku kan."
Ia melepaskan pelukkannya, tapi aku langsung menariknya kembali.
" Yang penting kamu harus pulang dengan selamat. Pulang pas di bocah udah brojol." bisikku penuh tekanan dan paksaan.
Ia tidak menjawab. Hanya memelukku semakin erat dan meninggalkan kecupan berkali-kali di kepalaku.
Aku anggap itu 'iya'.
" Tiga bulan."
Tiga bulan bukan waktu yang lama. Dia pernah meniggalkanku selama 6 bulan dan aku bersabar menantinya dalam kesetiaan.
Tapi.. itu waktu kami masih pacaran. Belum ada status ikatan. Belum ada cicin di jari manis kami. Belum ada si kecil di dalam perutku.
"Ga bisa ditolak ya?" tanyaku bergetar dan dengan senyuman yang kaku.
Aku tahu pasti jawabannya, tapi masih berharap dia punya jawaban lain.
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Malahan ia memandangku dengan tatapan sedih.
Ah, seharusnya aku tidak seperti ini. Seharusnya aku melepasnya dengan keberanian. Supaya ia bisa tenang saat bertugas.
Bukankah aku sendiri tahu bahwa ini adalah salah satu resiko menjadi istri seorang abdi negara. Seorang tentara.
" Maaf, ya sayang." Bisiknya sambil menarikku dalam pelukannya.
Aroma parfumnya yang bercampur dengan keringatnya menyeruak mengisi kepalaku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Selama 3 bulan aku akan merindukan wangi ini.
" Ga apa kok. Beritanya agak mendadak aja. Kamu ga usah kuatir. Aku akan jaga diri. Ada ibu juga yang nemenin aku kan."
Ia melepaskan pelukkannya, tapi aku langsung menariknya kembali.
" Yang penting kamu harus pulang dengan selamat. Pulang pas di bocah udah brojol." bisikku penuh tekanan dan paksaan.
Ia tidak menjawab. Hanya memelukku semakin erat dan meninggalkan kecupan berkali-kali di kepalaku.
Aku anggap itu 'iya'.
*****
" Mereka itu bodoh atau bagaimana??!!"
Aku berteriak keras pada ibuku.
Bukan. Bukan membentaknya. Bukan marah padanya.
Aku marah pada dua orang yang datang tadi siang dan memberikan kabar pada ibu. Kabar yang harusnya aku dengar langsung, bukan dari ibu.
Dadaku penuh dan langsung ingin meledak saat ibu menceritakan semuanya dengan hati-hati.
Aku berteriak keras pada ibuku.
Bukan. Bukan membentaknya. Bukan marah padanya.
Aku marah pada dua orang yang datang tadi siang dan memberikan kabar pada ibu. Kabar yang harusnya aku dengar langsung, bukan dari ibu.
Dadaku penuh dan langsung ingin meledak saat ibu menceritakan semuanya dengan hati-hati.
Tidak. Bukan karna mereka tidak mengabarkan berita itu secara langsung padaku. Bukan itu.
Berita itulah yang membuatku marah.
Berita itulah yang membuatku marah.
Aku marah karna perasaanku benar. Kegelisahaanku benar. Aku tidak bisa mengakuinya.
Aku harap semua yang aku dengar tadi hanya omong kosong. Hanya gurauan yang keterlaluan.
Aku menatap wajah ibu yang perlahan menitikkan air mata. Matanya bengkak. Ia pasti menangis selama aku ada di luar membawa Matius imunisasi di rumah sakit.
" Ibu kenapa menangis?" tanyaku dengan suara tertahan.
" Mereka tidak menemukan mayat. Bagaimana bisa mereka bilang sudah meninggal?"
Mendengar kata-kataku ibu semakin keras menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
" Ibu, aku bukan janda. Suamiku ada di luar sana. Ibu jangan menangis. Mereka hanya belum menemukannya."
Iya, pasti begitu...
Aku masuk ke kamar dan meninggalkan ibu yang menangis semakin keras. Aku tak mau ikut berduka dengannya karena memang tidak ada yang perlu aku dukakan.
Lebih baik aku memikirkan Matius. Sebentar lagi dia pasti bangun. Usianya sudah 9 bulan dan sangat pintar. Walau hanya lewat foto, ia bisa tahu siapa ayahnya.
****
" Bu, besok kita jadi ke tempat ayah?" Matius berlari ke arahku dan memelukku dari belakang dengan penuh antusias. Ia melingkarkan tangannya di leherku lalu mengecup pipiku dengan sayang.
Usianya sudah 6 tahun. Pintar bicara seperti ayahnya. Wajahnya persis sama seperti ayahnya waktu kecil. Hanya tahi lalat di keningnya yang membedakan ia dengan ayahnya.
" Iya, jadi." Jawabku pelan sambil membalas ciumannya dan kembali berkutat dengan kesibukanku memotong sayuran.
" Ius mau tunjukin gambar Ius ke Ayah ya buuu..."
Matius menunjukkan hasil gambarnya padaku dengan penuh semangat. Gambar aku yang menggandengnya dengan ayahnya yang melayang di atas dengan sayap.
" Iya, Ayah pasti senang."
Matius langsung berlari kembali ke ruang keluarga dan sibuk dengan pensil warnanya. Ia menambahkan beberapa detail pada gambarnya sambil bersenandung ria.
Entah harus berapa lama lagi aku bertahan. Berpura-pura mengakui kau sudah tiada.
Sayang, percayalah aku menganggapmu sudah tidak ada hanya supaya mereka melepaskanku dari rumah sakit itu. Mereka memberiku banyak obat. Mereka pikir aku akan membahayakan Matius. Padahal aku hanya ingin membawa dia padamu.
Sayang, aku harap kau segera pulang. Aku lelah membawa Matius ke kubur kosong itu. Mereka menguburkan peti kosong dan terus mengatakan kau sudah tak ada.
Mereka gila, tapi malah mengatakan aku yang gila karna aku tidak percaya kau sudah tak ada.
Cepatlah pulang, Sayang. Supaya aku berhenti bersandiwara. Supaya aku buktikan pada mereka bahwa aku benar.
" Ndukkk!!!"
Aku tersontak mendengar jeritan ibu. Bergegas aku berlari menemuinya di ruang tamu. Ia menahan mulutnya dengan kedua tangan dan wajahnya tampak pucat pasi. Matanya terbelalak seperti akan keluar.
Aku mengikuti arah pandangannya dan seketika sekujur tubuhku terasa mati rasa. Aku tidak bisa bergerak. Otakku seperti tidak bisa berpikir. Aku ingin muntah.
Dia menatapku penuh permohonan maaf. Kulitnya yang hitam legam membuatku hampir tak mengenalinya. Setengah wajahnya rusak oleh bekas-bekas luka. Tapi tatapan matanya tak mungkin membuatku salah mengenalinya.
" Maaf..." katanya terdengar begitu jauh.
" Maaf..." katanya lagi dengan suara bergetar.
Aku ingin bicara. Tapi bibirku kelu. Aku melihatnya menjatuhkan tasnya yang usang dan berlari ke arahku. Tangannya yang hitam legam... Itu hanya 1 tangan... Satu tangan itu meraihku dan langsung memelukku erat.
Aroma keringat menyeruak memenuhi kepalaku. Bukan parfum yang wangi, tapi aku tahu aroma ini.
Bertahun-tahun aku tak menangis, hari ini air mataku mengalir deras. Aku menjerit menumpahkan sesak di dadaku. Aku ingin muntah. Aku ingin marah, tapi aku bahagia.
Tuhan, aku pikir aku gila.... Dia pulang.