And The Story Goes...
  • Home
  • Cerpen
  • Puisi
  • Buku
  • Proyek Berjalan
    • Remember You
    • Hitam
  • Contact Us
"Bukan begitu caranya! Aduh, kamu kok ga ngerti-ngerti sihh! Sini Mama aja yang beresin!"

Aku melepaskan ujung seprai yang sudah siap-siap aku rapihkan. Mama menyambarnya dan mulai membereskan tempat tidurku. Aku mengamatinya dan hanya diam, berdiri di tempat.

Entah aku harus senang atau sebal. Senang karena akhirnya tidak perlu membereskan tempat tidur sendiri atau sebal karena Mama tidak pernah membiarkanku menyelesaikan tugasku sendiri. Ia akan selalu mengoreksi lalu mengambil alih.



“ Pelan-pelan makannya!” Juwita mengingatkan cara makanku yang seperti orang barbar. Aku mengurangi kecepatan makanku walau hanya sedikit.


Sudah seharian ini aku belum makan karena terkena macet dari Bandara Ngurah Rai untuk bisa sampai di The Bay Bali. Untungnya Juwita sudah tahu aku pasti akan memesan apa jika berada di sini.


Arya mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Layar putih di hadapannya masih saja kosong melompong. Setiap kata yang dituliskannya terasa salah.
Di kepalanya berputar-putar kaedah penulisan, nilai-nilai moral, tata krama dalam berbahasa. Dia harus menulis dengan 'lurus', hanya itu yang ia pikirkan.
Tapi, setiap kali ia ingin menulis, kenapa aturan-aturan itu seperti tembok tinggi yang menghalangi pandangannya? Ia tidak punya khayalan lagi, tidak ada gambaran dalam kepalanya. Hanya tembok yang tinggi dan tebal.
" Ah, apa peduliku!" Satu kalimat ia ucapkan dan tuliskan. Ia tuangkan kegusarannya, amarahnya karena naskahnya terus ditolak, putus asanya karena merasa tidak pernah bisa menulis dengan indah.
Ya, kali ini ia jujur pada tulisannya. Tanpa aturan, tanpa batasan. Hanya ada dia dan tulisannya.

amsaLFoje via Blogaway






Hari ini kau bergaun putih dengan rambut tertata indah di bahumu bak seorang dewi. Rangkaian bunga yang ada di tanganmu bahkan tidak dapat menyaingi silaunya pesonamu.



Bella tersenyum lebar menyambut sosok yang berlari terburu-buru ke arahnya. Kakinya sudah pegal karena berdiri 1 jam menunggu sosok itu. Sosok yang selalu menjadi kesayangannya.

Lou, si cowo cuek yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka duduk di bangku TK. Persahabatan yang tidak berubah. Bahkan sampai usia mereka menginjak 23 tahun.
Sudah lima tahun ya, Ka? Sejak kau berikan surat warna biru laut itu padaku. Aku menerimanya dengan dada yang penuh dan berdebar-debar. Aku ingin segera tahu isinya.
Surat itu tanda perpisahan kita, tapi merupakan awal yang baru bagiku. Awal dimana aku tidak berhenti untuk mengasihimu.
Kau masih ingat isinya, Ka? Kau menuliskan isi hatimu dengan begitu penuh perasaan padaku. Tulisanmu yang seperti rumput bergoyang, tidak mengurangi maksud dari setiap kalimatmu. Kau membuatku berbunga.
Ternyata aku tidak patah hati. Kita punya perasaan yang sama. Setiap perlakuanmu padaku dan semua yang kita lewati bersama, ternyata benar-benar menunjukkan isi hati kita.
Itu lima tahun lalu Ka. Saat kau belum meninggalkanku pergi ke negeri orang. Dengan janji kau akan menyuratiku lagi, tapi aku tidak menerima surat keduamu sampai hari ini.
Kau dimana Ka? Semua orang tidak tahu keberadaanmu, bahkan orang-orang terdekatmu sedang menunggu kabarmu.
Lima tahun Ka. Hatiku masih merasakan bunga-bunga itu setiap kali membaca suratmu. Hatiku masih sama. Perasaanku masih sama. Apakah aku harus menunggu lima tahun lagi Ka?

amsaLFoje via Blogaway
Aku menggenggam erat piala ditanganku dan memandang wajah lelah dihadapanku dengan memelas. Aku berharap ia melihat untuk sekali ini saja apa yang ada di tanganku. Merasakan apa yang aku rasakan. Kebanggaan.
Mulutnya masih terkunci. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menopang badannya dengan tongkat kayu berkepala elang. Matanya yang menunjukkan betapa ia telah melihat kejamnya dunia, memandangku lurus dan dingin.
" Eyang tidur duluan." Hanya itu yang ia ucapkan. Ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya.
Langkahnya yang begitu pelan sering kali membuatku datang padanya dengam segera, hanya untuk menuntunnya. Tapi kali ini tidak. Ditengah-tengah sesaknya napasku mendapatkan reaksi Eyang, aku tidak bersimpati pada ketidak berdayaannya.
Piala yang ada ditanganku tidak bisa membanggakannya. Piala yang kubanggakan tidak bisa menyenangkan hatinya. Ia ingin aku berhenti mencintai musik, tapi aku tidak bisa. Nyanyian hatiku tidak bisa kuhentikan.
Eyang, satu-satunya keluargaku, sampai hari ini pun aku masih seperti anakmu, tidak bisa berhenti mencintai musik. Maaf Eyang... aku tidak bisa jadi seperti yang Eyang mau.
Kuletakkan piala di tanganku di atas meja tamu. Esok pagi Eyang akan melihatnya dan terserah beliau akan diapakan simbol kebangganku itu.

amsaLFoje via Blogaway
Tarikan napasnya begitu berat. Matanya memerah menahan tangis yang ingin ia sembunyikan. Harga dirinya runtuh.
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Berita yang ia bawa mematahkan hatiku, tapi hatiku lebih patah lagi melihatnya begitu hancur.
" Tidak apa-apa. Pasti akan ada jalan kelûar," aku berbisik pelan. Kubelai pipinya dan mengecupnya lembut. Aku ingin tahu kalau apa yang kukatakan itu benat. Semuanya akan baik-baik saja.
" Tapi bagaimana nanti kita akan makan??"
Aku menggenggam tangannya lebih erat lagi. Kupeluk bahunya dan mengusap punggunya, sama seperti saat-saat tenang di malam hari yang selalu kami lewati bersama.
" Kalau kemarin kita bisa melewati masalah, hari ini pasti juga," kutatap mata nya dalam untuk meyakinkannya lagi.
Aku membelai rambutnya, sayang. Aku ingin dia tahu, aku menjadi istrinya bukan karena uangnya atau kedudukannya. Hari ini, saat ia terpuruk aku akan selalu bersamanya. Selalu mencintainya.

amsaLFoje via Blogaway

Ia menelan makanan itu dengan susah payah. Tidak ada rasa dan benar-benar hambar. Dua wajah yang disayanginya menatapnya dengan penuh simpati.

Ah, mereka menelan makan yang sama. Makanan yang hambar dan tanpa rasa. Padahal bisa saja mereka makan makanan lain.

" Ga enak ya, Pa?" tanya Gita, putri semata wayangya dengan wajah yang mengerut, prihatin.
" Ga ada rasa.." bisiknya, pelan. Manda, istrinya menatapnya tak kalah prtihatin.
" Maaf, ya Pa.." ujar Manda sambil menyentuh lengannya, menguatkan.

Ia menggeleng tidak setuju dengan permintaan maaf istrinya. Justru ia yang harus minta maaf. Karena penyakitnya, keluarganya harus ikut merasakan ketidak nyamanan ini.

Dulu hampir setiap hari ia marah-marah pada anak dan istrinya karena penyakit darah tingginya. Sekarang, saat ingin menyembuhkan diri, mereka harus ikut merasakan makanan yang hambar. Rasanya akan sangat keterlaluan kalau ia sampai tidak menghargai pengorbanan mereka.

Ia menyendok nasi yang telah dibasahi kuah sayur dan mulai melahap makanan di piringnya. Ia bertekad untuk bisa sehat dan memberi yabg terbaik untuk keluarganya. Dimulai dari menikmati makanan hambar ini.

Manda dan Gita yang melihat dirinya makan dengan lahap langsung tersenyum cerah. Dengan penuh semangat mereka menikmati makanan di pirinh mereka dengan penuhj ucapan syukur karena imam mereka punya semangat untuk hidup sehat.

Rasa hambar ini tidak akan seberapa mereka rasakan demi melihat orang yang mereka cintai bisa selalu tersenyum dan berumur panjang. Dukungan yang tidak akan pernah habis untuknya, dimulai dari makanan hambar ini.


amsaLFoje via Blogaway
Mawar itu sudah mengering. Warnanya yang dulu putih sudah menjadi coklat dan tidak menarik sama sekali. Air di dalam vas sudah tidak bisa mempertahankan keindahannya. Kalau kuberikan pada siapa pun, tidak akan ada yang menginginkannya.



Harus kuapakan?? Buang?? Entah mengapa aku tidak rela. Aku masih ingin mawar itu tetap ada di sana supaya aku tetap bisa terus mengingat siapa yang memberikannya.

Aku masih terpaku, duduk di atas tempat tidurku dan memandang lurus pada mawar kering yang menghiasi meja belajarku. Aku tidak bisa berhenti memandang mawar itu dan semakin lama aku memandangi mawar itu, semakin jelas terbayang wajah yang sudah beberapa lama kukenal. Wajah yang dua minggu lalu masih membuatku merasa berbunga-bunga.

Candanya, tawanya, ceritanya, setiap pujiannya, perlakuannya... Aku merasa seperti wanita yang spesial dibuatnya. Hatiku penuh dan begitu hangat. Seperti ada kupu-kupu yang terus menggodaku dan menari-nari di sekelilingku.
by Lasma Frida Manullang
271211

Tidak mungkin akan berhasil, pikirku. Apa pun yang akan aku lakukan tidak akan berhasil. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku dilahirkan hanya untuk menjadi seorang “loser”…Tidak ada kemenangan dalam kamusku.


“ Kamu pasti bisa, Ra.” Bella menepuk bahuku, pelan. Senyuman hangatnya menghiburku, tapi tidak cukup untuk bisa meyakinkanku kalau aku bisa menyelesaikan apa yang ada di depan mataku.

“ Mari kita sambut, Diara!!” namaku disebut dan aku pun melangkah memasuki panggung. Alunan musik yang berputar memberiku tanda aku harus segera menari.

Aku menggerakkan setiap bagian badanku, menarikan tarian yang telah lama kulatih. Aku terus menari tanpa mau melihat pada wajah para juri. Aku hanya mengikuti musik dan menari sesuai dengan alunan lagu. Sampai akhirnya lagu berakhir, kurasakan jantungku berdegup kencang.

“ Silahkan Diara maju ke depan.”

Aku melengkah ke depan agar lebih dekat dengan juri.

“ Selamat siang, Diara.”

“ Siang” jawabku lirih dengan mike di tanganku.

“ Kamu punya bakat yang sangat bagus. Tapi sayang…”

Ini dia…Ini dia…Dia akan mengatakan aku tidak layak untuk jadi juara.
Mataku mengerjap menerima silaunya sinar matahari pagi yang menyombongkan dirinya pada dunia. Langit begitu cerah dan biru. Sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi kali ini yang kurasakan berbeda.
Tidak. Aku pernah merasakannya. Ah, tidak ini lebih buruk. Ini lebih buruk dari rasa sebelum aku bertemu denganmu, Guru. Rasa ini lebih pahit dan menyesakkan.


http://achristianpilgrim.files.wordpress.com/2013/02/simon-petrus-sang-nelayan.jpg?w=645

Aku mengerjapkan mataku karena silaunya matahari pagi. Suara ayam berkokok menyadarkanku dari mimpi indah. Mimpi indah yang mungkin tidak akan pernah aku rasakan.
Kulihat sisi ranjangku. Pria di sebelahku mendengkur dengan tenang.
Beberapa saat lagi dia akan pergi. Sama seperti kemarin, kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi. Dia sama seperti pria-pria sebelum-sebelumnya.
Kubungkus tubuhku dengan selimut agar hangat dan tidak merasakan dinginnya udara pagi yang menusuk. Kuhampiri meja tempat kaki dian di telakkan. Sekantung uang sudah aku dan pria itu sepakati semalam. Setidaknya ia meninggalkan apa yang seharusnya ia bayar.
Criiingg!!
“ Iya, Dia datang ke kota ini! Orang itu! Sekarang rombongan mereka sedang ada di pinggir kota. Mungkin sebentar lagi akan sampai di pusat kota.”
“ Aku ingin melihat Dia. Mungkin nanti Dia akan membuat mukjizat lagi.”
“ Iya benar! Ayo ke sana !”
Pembicaraan dua pria yang ada di meja belakang mengusik telingaku. Sudah beberapa hari ini orang-orang terus membicarakan ‘Dia’. Mereka bilang Dia tukang kayu, tapi ada juga yang bilang Dia itu nabi. Aku tidak tahu mana yang benar, tapi sama seperti mereka, aku penasaran.
“ Jadi, benar nabi itu sudah sampai di kota ini?” tanyaku pada pelayan kedai yang membereskan meja sebelaj mejaku.
“ Iya, sepertinya begitu.” Jawab pelayan itu sekedarnya. Ia tidak terlalu ramah padaku.
Sebenarnya semua orang tidak ramah padaku. Mereka tidak pernah suka padaku. Setiap kali aku
Newer Posts Older Posts Home

Buku Anak

Buku Anak
Buku “Menjadi Kakak” ditulis oleh Mesty Ariotedjo (dokter spesialis anak), Grace Sameve (psikolog anak), Reda Gaudiamo (penulis buku anak), dan Bellansori (ilustrator).

ABOUT ME

“Artists use lies to tell the truth. Yes, I created a lie. But because you believed it, you found something true about yourself.” ― Alan Moore, V for Vendetta

POPULAR POSTS

  • REMEMBER YOU: Ben, Kau Gila!
  • REMEMBER YOU: Luka
  • Remember You - Prolog
  • Alien
  • REMEMBER YOU: Membayar Kesalahan

Categories

A Jar Of Cookies 1 break up 1 broken heart 1 CERPEN 9 CERPEN KRISTEN 4 CoratCoret 1 FF 9 flash fiction 3 hitam 7 Novel 11 Poems 9 ProyekMenulis 3 puisi 5 putus 1 Remember You 13
Powered by Blogger.

Search This Blog

Recent in Recipes

About Me


“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.” ― Michael Scott, The Warlock

Popular Posts

  • REMEMBER YOU: Ben, Kau Gila!
  • REMEMBER YOU: Luka
  • Remember You - Prolog

Jasa Lukisan Wajah

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates