And The Story Goes...
  • Home
  • Cerpen
  • Puisi
  • Buku
  • Proyek Berjalan
    • Remember You
    • Hitam
  • Contact Us
Tidak ada
Tidak ada hasil

Tidak ada yang berubah
Semua masih sama

Peluhku jatuh perlahan
Lelahku semakin menyakitkan

Mengapa usahaku tak menghasilkan
Jerih payahku seperti uap
Hilang
Lenyap
Tanpa jejak

Aku mencoba lagi
Mungkin sekali lagi
Akan ada yang kulihat

Aku ingin melihat
Apa yang kuinginkan

Aku mencoba lagi
Mungkin sekali lagi
Akan kutemukan
Apa yang kuharapkan...

Tapi lihat...
Tanganku berdarah..
Punggungku berdarah..
Kakiku berdarah..
Hatiku..
Koyak..
Semakin rusak...

Dan tetap saja..
Tak ada yang terlihat...

Lalu untuk apa aku berusaha...
Untuk apa aku terus mencoba...
Semua hanya sia-sia...

Tidak..
Tidak ada yang sia-sia..

Tidak..
Tidak ada yang percuma..

Usahaku memang sudah payah..
Tak sanggup lagi aku mencoba..
Hanya 1 yang belum kulakukan..

Berhenti menjadi Tuhan....
Berhenti mencoba menguasai segalanya..
Karena memang aku tidak bisa..

Kali ini, inilah yang akan aku lakukan..
Menjadi hamba
Dan berhenti mencoba menjadi Tuhan...

KehendakMu jadilah



Dilarang mengcopy postingan di blog ini tanpa seizin penulis. Untuk penggunaan content atau kerja sama silahkan hubungi author di email lasma.manullang230@gmail.com. Terima Kasih.

Gelap itu masih nyata
Malah semakin menyesakkan

Timbunan beban mematikan rasa
Membekukan jiwa juga raga



Jika kamu suka berbaik hati pada orang lain
Jangan lupa
Berbaik hatilah pada hatimu juga
Bagaimana aku bisa mengakhiri ini
Haruskah kupasang tali
Mematikan nadiku sendiri?

Bagaimana dengam minum obat
Sampai ke dosis yang tubuhku tak sanggup menerima??

Apakah dengan melompat dari tempat tinggi juga bisa??

Tapi..
Aku tidak mau semua ini menjadi cerita kelam dalam hidupnya..

Tak apalah kutahan sebentar lagi..
Sakit yang aku tak tahu bagaimana cara membuangnya..

Tahan sebentar lagi..
Tuhan tolong sakitku..
Tuhan tolong cabut deritaku..
Tolong aku...





Ia memarkirkan Mazda RX7 hitamnya di samping Rolls-Royce Phantom VIII dan di depannya Porsche 911 merah . Bangunan dengan model arsitektur romawi. Temboknya dilapisi batuan marmer dingin dan sebagian sudutnya dihiasi patung marmer berbentuk dewa dewi mitologi Roma. Di tengah halaman depan kolam ikan dengan pancuran air berbentuk wanita membawa kendi menjadi pusat taman dan mobil-mobil memutarinya saat harus keluar masuk halaman depan.


" Lo beneran mau makan siang bareng dia?" Jenny mencondongkan badannya ke arah Hira berusaha mendapatkan jawaban pasti. Padahal Hira sudah menjawabnya berkali-kali dari sejak semalam Hira menceritakan cowo bernama Ben ini.

" Iyaaaa kucriittt. Lo udah berapa kali nanya sihh?" jawab Hira sambil meremas rambut ikal Jenny yang selalu membuatnya gemas.

Jenny memundurkan kursinya agar Hira bisa berdiri. Ia melirik ke arah meja Bu Ira, pustakawan kampus. Dia sedang melotot ke arah Jenny dan Hira karena dari tadi mereka membuat keributan membicarakan si Ben, makhluk sempurna yang entah muncul dari perut bumi atau dari langit ke tujuh.

" Hira, bentarrr dehh..." tanpa sadar Jenny menaikan suaranya dan akhirnya suara "sssstt.." itu keluar dari mulut Bu Ira. Jenny memelankan suaranya dan memegang tangan Hira untuk mencegah niat sahabatnya itu.

" Mending lo jangan ketemuan sama dia deh...Lo kan masih hilang ingatan 'Ra.." bisik Jenny. Ia berusaha menahan diri agar tidak memuntahkan semua isi hatinya. Demi kesehatan Hira.

" Memang apa sih yang perlu gua inget Jen?? Gua cape tahu berusaha mengingat, ikut terapi, ngubek-ngubek ingatan gua, tapi ga nemu apa-apa. Memang apa sih yang penting yang gua lupain?? Kenapa kalian ga ceritain aja semua??"

Mau gua juga gitu, Raaa... jerit Jenny dalam hati.

" Tuh, kan! Malah diem. Kalian tuh kompak banget ga ada satu pun yang mau cerita tapi maksa-maksa gua buat inget. Nyebelin tahu ga.. " bisik Hira, geram.

Jenny tidak bisa menjawab kata-kata Hira. Hatinya mencelos melihat cara bicara sahabatnya tadi. Ternyata Hira sendiri cukup tertekan dengan keadaannya... Tapi begitu juga dengan keluarganya, bahkan Jenny sendiri. Sampai kapan mereka harus tutup mulut demi menjaga kesadaran Hira??

Jenny mengeluarkan ponselnya dan mulai mengirim chat pada orang yang paling mengerti kekuatirannya tentang Hira. Galuh selalu bisa membuatnya merasa tenang walau pun tidak banyak komentar. Ia selalu mendengarkan.

Sama seperti saat ini juga, chat Jenny langsung dibalas.

***
Pintu lift terbuka, Hira menerobos orang-orang di depannya untuk keluar lebih dulu. Tak dipedulikannya seruan protes beberapa orang yang mendapat dorongan bahunya.

Sesuatu yang mengganjal di ulu hatinya membuatnya melangkah lebih cepat. Ia ingin segera menyelesaikan janjinya dengan Ben.

Hanya karena masalah ini ia bisa menjadi jengkel dengan Jenny. Biasanya Hira mendengarkan nasehat Jenny, tapi entah kenapa hari ini dan tentang masalah ini...

Hira memperlambat langkahnya dan teringat bagaimana ia menggeram pada Jenny. Ia tidak pernah sekasar itu pada sahabatnya...

Sekarang ia semakin sesak karena menyesal dan rasa lelah..

Amnesia ini menguras tenaganya. Mungkin ia bisa cuek dengan apa yang tidak ia ingat, tapi semua orang mendorongnya untuk mengingat. Sementara setiap kali ia berusaha mengingat, semakin ia merasa lelah.

Mungkin seharusnya Hira tidak perlu mengingatnya kan??

Hira menengadahkan kepalanya berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh. Memalukan kalau sampai ia bertemu Ben dengan mata yang dalam keadaan bengkak dan memerah.

Setelah merasa lebih tenang, Hira melanglahkan kakinya lagi menuju kantin. Jam setengah 12, kantin masih sepi. Hira menyapu pandangannya dan tatapannya terhenti pada sosok Ben yang sedang duduk berhadapan dengan seorang cewe. Hira tahu cewe itu. Si cantik yang populer dari fakultas Ekonomi. Dia populer karena seorang artis juga. Pamela.

Hira memperlambat langkahnya dan memperhatikan mereka berdua dengan seksama. Ada aura keintiman diantara keduanya. Ben beberapa kali terlihat tertawa lepas saat mengatakan sesuatu. Pamela sendiri tampak berusaha tersenyum seolah sedang menahan perasaan tidak nyamannya.

Situasinya membuat Hira segan untuk mendekat. Ia menghentikan langkahnya berpikir untuk balik badan. Mungkin Jenny benar. Menerima ajakan Ben bukan ide cemerlang.

Mungkin sebaiknya dia pula..

" Hira!!"

Hira terlonjak namanya dipanggil. Ia menoleh ke arah Ben dan cowo itu sedang bangkit dari duduknya dan segera berlari kecil ke arah Hira.

Dari jauh Hira melihat Pamela yang menatap ke arah dirinya dengan pandangan yang kosong. Entah kenapa situasi ini membuat Hira semakin merasa canggung. Ada sesuatu yang sepertinya tidak boleh Hira lakukan tapi ia sendiri tidak merasa jelas apa.

" Kita jadi makan bareng kan?" tanya Ben penuh antusias. Hira mengangguk pelan sambil sesekali melirik pada Pamela.

Ben menyadari arah pandangan mata Hira dan segera mengarahkan Hira untuk bergabung bersama Pamela. Tiba-tiba saja bahu Hira terasa berat.

" Hai.. " sapa Hira saat tiba di meja tempat Ben dan Pamela.

Pamela mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar. Tatapan kosongnya tadi mendadak hilang tak berbekas berganti dengan senyuman ramah dan... Tulus... Iya, Hira merasakannya kalau senyuman itu benar-benar tulus.

" Hai, gua Pamela. Sohibnya Ben."

Hira menerima uluran tangan Pamela dan membalas senyuman bidadari itu dengan senyuman garing dan kering. Ia berusaha senyum semanis mungkin untuk menaikan sedikit derajat kewanitaannya agar tidak terlalu jomplang dibanding dengan Pamela.

" Hai, gua Hira. Gua tahu lo sih. Siapa yang ga kenal Pamela.. Eh, kenal ga sih baru sekarang.. Ya pokoknya tahu lo. Kan lo artis.. Eh, ya gitu deh kira-kira..." Hira menjelaskan tanpa ditanya. Usahanya untuk terlihat feminim menjadi sia-sia.

Pamela tersenyum penuh arti pada Hira dan mengangguk mengerti. Tak lama kemudian ia menyeruput jus alpukatnya sampai habis dan membereskan bukunya.

" Lo mau kemana?" tanya Ben melihat Pamela yang tampak buru-buru. Terlihat di wajah Ben kalau ia tidak suka Pamela meninggalkan mereka.

" Gua masih harus kerjain tugas lain. Mau duluan masuk kelas mumpung sepi." jelas Pamela.

" Senang kenalan sama lo Hira. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya."

Pamela melambaikan tangannya dan meninggalkan mereka berdua. Hira terpaku, masih terpesona pada kecantikan Pamela. Cewe itu bukan hanya cantik di luar tapi juga di dalam. Benar-benar membuat iri.

" Ra, kamu mau makan apa?"

Dengan wajah yang masih termangu Hira melihat sekeliling kantin dan memutuskan membeli nasi padang. Tadinya Ben menawarkan diri untuk mentraktir tapi Hira menolak. Tabu baginya untuk menerima traktiran dari orang yang belum terlalu dekat dengannya. Tapi kalau sudah dekat, mungkin Hira yang akan minta ditraktir. Hukum alam dalam pertemanan.. Mungkin..

" Kacau nih .. Si Ibu Sahla. Gua minta nasi setengah dikasih 1 porsi."

Hira menatap piringnya yang penuh dengan nasi. Ia tidak memperhatikan saat Bu Sahla, pemilik kios nasi padang, menyiapkan pesanannya. Mau minta diganti tidak enak juga.

" Sini. Sebagian buat aku saja."

Tanpa ragu Ben mengambil sebagian nasi Hira dan memindahkan ke piringnya. Piringnya yang sudah penuh tampak semakin menggunung.

" Gila, laper lo Bro?!" tiba-tiba seorang cowo menepuk bahu Ben sambil lalu. Ben tertawa sambil melambai, memberi salam pada cowo tadi yang sepertinya teman fakultasnya.

Hira menoleh ke sekeliling kantin yang mulai penuh. Keramaian yang agak mengurangi rasa canggungnya 'kencan' makan siang dengan seorang cowo yang baru ia kenal 1 hari.

" Ra, ga makan?" tanya Ben membangunkan Hira dari lamunan. Hira tertawa garing dan langsung mengambil sikap doa.

Saat ia membuka mata setelah mengucapkan amin dalam hati, di depannya Ben terdiam. Ia menatap Hira dengan heran sampai kegiatan makannya terhenti.

" Kenapa Ben?" tanya Hira sambil mulai menyuapkan nasinya ke mulut.

Oh, ya ampunn.. Enak banget!! Jerit Hira dalam hati. Kalau yang di depannya adalah Jenny, Hira pasti sudah menempelkan kedua tangannya di pipi sambil menghentak-hentakkan kakinya saking senangnya merasakan rasa rempah nasi padang dimulutnya. Tapi.. Karena yang ada di depannya sekarang adalah Ben, ia berusaha menjaga sikapnya. Apalagi sosok Pamela masih membayanginya.

" Tiap makan kamu berdoa dulu?" tanya Ben, heran

Hira mengangguk ragu, tidak kalah heran dengan pertanyaan Ben. Bukannya semua orang berdoa sebelum makan??

" Memang kamu ga?" Hira balik nanya.

Ben menggeleng sambil tersenyum malu.

Manis banget, keluh Hira dalam hati melihat senyum Ben. Ia pun memaki dirinya sendiri karena terlalu cepat luluh dengan ketampanan Ben. Salahkan cowo itu karena terlalu tampan.

Ya, memangnya siapa yang tidak akan bersorak Hore Lalala Yeyeye.. kalau punya kenalan seorang cowo bertampang oppa tampan di film Korea? Diajak makan bareng pulaaa.. Kenorakkan Hira sepatutnya masih bisa ditoleransi.

" Papi Mami ga pernah ajarin. Kakak saya sih sering ajarin saya, tapi saya malas ikutin. Dulu.... Tapi liat kamu tadi doa, saya jadi mau belajar."

Hira terpesona dengan jawaban Ben. Cowo ini sangat jujur dan polos. Entah dia benar-benar polos atau hanya pura-pura. Setidaknya sejauh ini Hira masih merasa Ben tulus mau berteman dengannya.

" Coba aja, Ben. Tapi, nasi kamu sudah habis."

Mereka menatap piring Ben yang sudah bersih. Ada sedikit bumbu rendang di sana. Ben mengambilnya dengan sendok dan langsung memasukkanya ke mulut.

" Mungkin besok kamu mau ajarin aku doa makan?!"

Hira menelan nasinya dengan susah payah. Dia tidak mau berasumsi tapi kata-kata Ben tadi sudah jelas ajakan kencan makan siang kedua.

Hira mulai ragu. Ia teringat Jenny dan nasehatnya.

Dari tadi mereka hanya membicarakan hal yang tidak penting dan Ben juga tidak terlihat mau mengatakan sesuatu yang lebih serius. Masa iya sih Ben hanya tiba-tiba ingin berteman dengan Hira?? Memangnya apa yang dia lihat dari Hira??

" Ra, belum pesen minum ya?? Aku pesenin ya. Minum apa?"

" Es teh manis aja. Thanks ya."

Ben tersenyum simpul membalas ucapan terima kasih Hira. Wajahnya terlihat bercahaya... Rrrrrr... Ada apa di nasi padang ini? Kenapa gerak gerik Ben membuatnya sedikit mabuk..

🎵🎵🎵🎵

Sambil melahap nasi padangnya dengan nikmat, Hira merogoh hpnya yang berbunyi. Ada notifikasi chat..

Dari Jenny..

Ra, gua minta maaf ya soal di perpus tadi.

Gua yang minta maaf Jen. Harusnya gua ga ngomong kayak gitu ke lo.

Lo masih di kantin. Ra?

Masih nih. Ben lagi beliin minum buat gua.

Dia orangnya gimana Ra?

So far so good. Manis banget tuh anak. Gua agak takut jadi kelepek2 Jen.

Seriuss loo.

Iyaaa... Abis fisik dan daleman sama manisnya. Gua kucing mah ga nolak dikasih ikan.

Weeeww.. Errorr.. Lo. Cari tahu lebih banyak dululah.
Hehehe.. Iya. Iya. Tenang aja. 
Thanks ya udah nanya. Gua ga enak banget sama lo tadi.

Iya, Ra. Gua ngerti kok 😘😘

" Chat dari siapa? Cowo kamu nyariin ya?" Dengan cepat Ben meletakkan es teh manis di samping Hira dan ia kembali ke tempat duduknya.

" Bukan. Gua belum punya cowo. Ini dari sohib gua."

" Ooo.. Baguslah.." Ben tersenyum lebar setelah menyelesaikan gumamannya sementara Hira semakin besar kepala mendengar kata "baguslahh" dari mulut Ben. Apa Ben senang saat tahu Hira masih jomblo??

" Berarti ga akan ada yang marah ya kalau besok aku ajak kamu makan siang bareng lagi?? Sekalian ajarin aku berdoa."

Untung saja Hira sudah menyelesaikan makannya kalau tidak mungkin ia akan menyemburkan nasi di mulutnya ke wajah Ben. Kalimat Ben tadi ajakan paling mustahil yang pernah Hira bayangkan.

Mimpi apa dia sampai ada cowo seperti Ben mengajaknya makan bareng sampai dua kali?? Apa karena mimpi ciuman itu??

Hahhh!! Masa sih Ben jodohnya??!! Tidak! Tidak! Jangan berpikir terlalu jauh. Ben hanyalah teman. Ben hanya ingin berteman.

Hira menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menghentikan imajinasinya agar tidak kebablasan. Jangan sampai ia jadi korban PHP.

" Jadi, kamu ga mau?" tanya Ben, menyimpulkan gelengan kepala Hira.

" Bukan. Bukan gitu. Maksud gua, gua ga nolak..."

Jiaaahh, Hira menggigit bibirnya. Ia keceplosan menjawab hanya karena merasa tidak enak pada Ben.

" Hahahha kamu lucu ya.." Ben tertawa renyah menerima jawaban Hira yang sebenarnya asal bunyi.

Melihat Ben tertawa, lagi-lagi ia merasa agak terbius. Apa mungkin ayah Ben kaya karena punya pabrik heroin?? Cowo ini membuatnya merasa agak mabuk setiap kali ia tertawa.

" Kalau gitu, besok sekalian nonton mau??"

Hira mengangguk ragu...apakah jawabannya sudah benar?? Benarkah jika ia mengiyakan ajakan kencan cowo yang baru dikenalnya ini??

" Kalau gitu, besok ketemuan di taman jam 12 ya. Kita naik mobilku saja."

🎶🎶🎶

Sebelum Hira menolak, tahu-tahu hp Ben berbunyi. Cowo itu melihatnya sebentar dan air mukanya langsung berubah.

" Kenapa?" tanya Ben cemas saat mengangkat teleponnya.

" Oh, habis. Iya Mba, nanti aku beli. Ini udah mau pulang. Nanti aku langsung ke sana. Makasih ya."

Dengan cepat Ben memutuskan telepon dan membereskan tasnya. Ia berhenti sebentar memandang Hira

" Ra, thank you ya hari ini. Nanti aku hubungin kamu lagi ya."

Tanpa menunggu jawaban Hira, Ben berjalan dengan cepat ke arah parkiran mobil. Beberapa kali ia menyenggol mahasiswa lain yang sedang wara wiri di kantin. Sepertinya ia ada urusan yang sangat genting.

Dengan pasrah Hira melihat sosok Ben menghilang. Ia ingin menolak ajakan Ben yang akan pergi dengan mobil cowo itu, tapi...

Ya sudahlah. Nanti malam saja ia chat Ben. Semoga dia tidak akan tersinggung.

***

SEBELUMNYA | SELANJUTNYA


Hira memandang wanita tengah baya di depannya dengan bosan. Rambut hitamnya yang ditata dengan rapih membuatnya semakin terlihat sangat serius. Kacamata dengan bingkai emas yang kuno itu juga membuatnya semakin terlihat tua.
Bu Fara adalah psikolog yang menangani kondisi Hira yag lupa ingatan ini. Lupa ingatan yang menurut Hira yang tidak perlu dipermasalahkan. Tapi menjadi masalah untuk ibunya, Riana.

Kemarin Hira ketahuan sudah bolos menghadiri beberapa sesi konseling dan ia kena omel habis-habisan. Hari ini ia terpaksa datang dan mau tidak mau harus menghadapi pertanyaan dan cara bicara Bu Fara yang membuatknya mengantuk.

" Hira, saya punya sesuatu untuk kamu lihat,"

Bu Fara membuka map yang sedari tadi di pegangnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalamnya. Ia memberikan satu lembar pada Hira.

Foto ia bersama beberapa teman BEMnya yang sudah lama tidak bertemu. Kata Jenny, beberapa dari mereka sudah kembali ke daerah masing-masing dan bekerja di sana. 

Di foto itu ada sekitar delapan orang. Hira dan Jenny yang masih kuliah, Galuh dan Patricia yang sudah bekerja di daerah Sudirman. Lalu Uli, Florencia, dan Rena yang sudah kembali ke daerah. Nah, di tengah-tengah ini yang memasang wajah paling jelek, Reeyymmundoo..


Iya, namanya Reymundo dan Hira sangat suka meledeknya dengan berlagak seperti pemain telenovela. Entah kenapa orang tuanya memberi nama Reymundo. Mungkin ibunya terlalu banyak menonton Marimar, Maria Mercedes, atau Cinta Paulina.

Mereka tidak pernah akur. Hira meledeknya dengan drama telenovela, Rey meledek Hira dengan menyebutnya Hera.

Entah sekarang cowo rese itu ada dimana. Hira tidak terlalu mau tahu juga. Mereka memang sering saling meledek, tapi tidak benar-benar bermusuhan tapi juga tidak benar-benar dekat.

Mereka berdelapan ini dulu sangat sering kumpul di rumah Jenny atau Pat. Hanya sekedar untuk rapat kecil-kecilan, haha hihi sambil main beberapa permainan kelompok dan sudah pasti ngemil.

" Ini foto kami di tahun... 2015... kalau tidak salah. Memangnya kenapa?" tanya Hira sambil menyerahkan kembali foto itu pada Bu Fara. Bu Fara kembali memberikan satu lembar foto.

" Bagaimana dengan ini? Apakah ada yang mengingatkanmu pada sesuatu?" tanya Bu Fara penuh selidik.

Hira melihat foto yang kedua dan di situ ada dirinya, Pat, Rey, Galuh, Uli, dan Rena. Ia ingat sekali foto itu diambil saat mereka sedang wisata ke pantai Anyer. Jenny dan Flo sedang sibuk dengan es kelapa jadi mereka membuat foto selfie berenam dengan susah payah.

Di foto itu dirinya sedang tidak fokus karena Rey membuat ekspresi jelek, melotot ke arahnya dengan lidah terjulur. Hira sudah hampir menempelkan pasir ke mulut Rey saat itu, tapi dia kalah cepat. Rey langsung melompat, menghindar.

Hira tersenyum sesaat mengingat kenangan manis itu. Saat-saat ia dan bersama teman-teman BEMnya masih sering berkumpul. Rasanya tidak ada hari tanpa kumpul dengan mereka. Walaupun mereka beda angkatan. Paling tua Galuh, diikuti Pat, Rey, Uli, lalu Rena, Jenny, dan Hira yang seumuran.

" Kenapa tersenyum?" tanya Bu Fara, penasaran tapi dengan wajah yang ikut tersenyum.

Hira memberikan foto itu kembali padanya dan hanya menggeleng pelan. Ia tiba-tiba merindukan teman-temannya.

" Bagaimana dengan yang ini?" Bu Fara menyodorkan foto ketiga.

Hira menerimanya dengan enggan. Kali ini foto berempat. Ada Rey, Hira, Galuh, dan Jenny. Di belakang mereka berdiri pohon Natal yang menjulang tinggi dan berhiaskan lampu kelap kelip.

Hira ingat foto ini juga. Waktu itu yang tinggal di Jakarta hanya mereka berempat sementara yang lain pulang kampung untuk merayakan Natal dan liburan bersama keluarga masing-masing di daerah. Akhirnya mereka berempat pergi ke mall yang belum lama dibuka dan langsung mengadakan perayaan yang meriah. Yang paling Hira ingat adalah kembang apinya.

Kembang apinya indah dan romantis... 

Ah, Hira tiba-tiba ingat. Hari itu ia patah hati. Ia melihat Jenny bersama Galuh tampak begitu sangat dekat. Bahkan Rey mengungkapkan isi hati Hira sebelum Hira mengucapkannya sendiri.

Sekarang, Galuh dan Jenny memang pacaran. Bahkan sudah 3 tahun lebih. Mereka juga sedang mempersiapkan pernikahan. Begitu Jenny lulus, mereka akan menikah.

Galuh dan Jenny memang cocok. Mereka sama-sama dewasa. Tidak seperti dirinya..

" Hira? Ada yang kamu pikirkan?" tanya Bu Fara sambil menerima foto dari tangan Hira.

Hira menggeleng pelan, " Hanya terkenang masa lalu."

" Kenangan apa?"

Ah, ini dia yang tidak disukai Hira. Dia memang kuliah di jurusan psikologi, tapi ia paling tidak suka isi hatinya dikorek-korek dan diselidiki.

" Hanya masa lalu..." jawab Hira, asal. 

Bu Fara menarik napasnya dalam. Terlihat jelas ketidak puasan di wajahnya. Tidak puas dan lelah.

" Hira..."

Hira meliriknya dan tidak tertarik memandangnya muka dengan muka.

" Saya di sini ada untuk membantu kamu, tapi kalau kamu sendiri tidak mau dibantu dan tidak mau bekerja sama.. Sepertinya akan sia-sia."

Bungkam, Hira benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia memang tidak merasa perlu dibantu.

" Hira, apakah kamu merasa perlu dibantu??"

Hira membuka mulutnya untuk mengatakan keluh kesahnya tentang sesi-sesi yang membosankan, tapi ia kembali menutup mulutnya dan menelan kata-katanya. Lebih baik ia berkata seperlunya saja.

" Saya memang tidak merasa ada yang perlu dibantu Bu Fara. Saya merasa tidak perlu mengingat hal-hal yang terjadi setahun yang lalu."

Hening. Bu Fara tidak menjawab kata-kata Hira dan dia hanya memandang Hira penuh pertimbangan.

" Baiklah. Sesi hari ini sampai di sini saja dulu. Saya akan membicarakan masalah ini dengan Ibu Riana. Semoga beliau bisa mengerti."

Hey! Maksudnya dia akan berusaha membuat ibunya berhenti memaksanya mengikuti sesi-sesi yang membosankan?? Bagus sekali! Jadi, Hira tidak perlu berdebat dengan ibunya sendiri.

" Baiklah!" penuh semangat Hira berdiri dari duduknya dan menjabat tangan Bu Fara dengan kuat.

" Saya akan menunggu kabar baiknya!" seru Hira dari balik pintu ruang konseling. Ia menutup pintunya pelan dan melemparkan tinjunya ke udara.

Akhirnya ia bisa lepas dari masa-masa yang menyiksa ini. Setahun mengikuti sesi konseling tanpa hasil. Buat apa? Memang lebih baik mereka menyudahinya.

Semoga saja ibunya mau mengerti dan mengijinkan. Kalau, tidak.. Arghh!!



*** 
Jarak dari kantor Bu Fara ke rumah Hira hanya sekali naik Trans Jakarta, tapi entah kenapa ia selalu merasakan perasaan tidak enak setiap kali ia pulang. Seperti ada yang mengaduk-aduk isi perutnya.

Hira berusaha mengabaikannya tapi beberapa kali gagal yang berakhir menjadi rasa sakit di kepalanya. Ia tidak menceritakannya pada siapa pun karena orang-orang di sekelilingnya jadi sering kuatir berlebihan sejak kecelakaan 1 tahun lalu.

Hira tidak mau dibrondong dengan berbagai pertanyaan yang kadang ia pun tak tahu jawabannya.

Bus TJ hari ini tidak terlalu ramai mungkin karena sesi terapi hari ini selesai lebih awal jadi tidak bertabrakan dengan jam pulang kantor. Hira melihat sekeliling bus yang hanya berisi beberapa orang. Sinar matahari sore yang masuk dari sela-sela jendela memancarkan warna jingga menyala. Membuat mata Hira silau. Lalu perlahan perasaan tidak nyaman itu muncul lagi.

Bergegas Hira menutup matanya, memasang earphonenya dan tenggelam dalam dentaman lagu dari aplikasi musiknya. Dalam gelapnya saat ia menutup mata, warna jingga itu masih menari-nari di balik kelopak matanya. Rasa tidak nyaman itu tak menjauh juga dan perlahan rasa sakit di kepala Hira ikut bermain. Ia masih bisa menahan sakitnya. Seperti ditusuk paku. Ia berusaha bertahan dan seiring menghilangnya bayangan jingga itu, rasa sakit di kepalanya menghilang.

Hira menarik napasnya dalam dan membuangnya perlahan. Dengan cara itu ia bisa kembali lebih tenang....

Yah, ternyata hasil dari terapi itu masih ada gunanya. Termasuk teknik pernapasan ini.

Sakit kepala itu sudah mulai hilang, tapi Hira tidak mau membuka matanya. Ia akan membukanya saat ia sudah sampai di halte tujuannya.

Hira hanya bisa berharap sakit kepala itu bukan tanda kanker otak atau penyakit lainnya. Mungkin hanya karena trauma akibat dari kecelakaan dulu.

Iya, semoga saja.

***

Hujan jatuh tepat saat Hira melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah. Cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini membuatnya agak senewen karena ia tipe yang malas membawa payung. Tasnya sudah penuh dengan berbagai macam diktat, buku, alat tulis dan laptop. Ia tidak mau menambahkan beban beberapa gram ke dalam tasnya.

Ya, sebenarnya itu kebiasaan orang malas. Jenny dan ibunya sering mengomel kalau tahu ia tidak membawa payung padahal tahu sudah menjelang musim hujan. Peribahasa dan berbagai nasehat bisa panjang lebar mereka pidatokan dengan harapan dirinya bertobat. Tapi, ya... Maaf.. Hira memang sulit berubah.

" Shaloomm!!" Hira mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah. Dari pintu ruang tamu ke arah taman belakang ia melihat ibunya, Riana, sedang sibuk mengangkat jemuran. Hujan yang tadinya hanya gerimis mulai semakin deras.

Bergegas Hira meletakkan tasnya di meja makan. Mengurungkan niatnya mencomot ayam goreng dan bergegas membantu ibunya.

" Makasih, Hira." ucap Riana saat mereka meletakkan semua jemuran yang untungnya sudah kering ke keranjang khusus jemuran.

" Sama-sama, Ma. Langit lagi sering galau, nih." celetuk Hira sambil mengangkat tasnya dari meja makan dan memindahkannya ke kursi. Ia mencuci tangannya di dapur dan mengambil piring sambil terus sesekali melirik ibunya yang mulai sibuk melipat jemuran tadi.

Ia penasaran apakah Bu Fara sudah menghubungi ibunya untuk membicarakan jadwal terapinya. Dari gelagatnya sih sepertinya belum. Kalau tidak, pasti Riana sudah mengoceh panjang kali lebar.

" Hira, tadi Bu Fara nelepon."

Hira yang baru mau duduk di kursi langsung terpaku memandang Riana. Ia seluruh sarafnya langsung menjadi awas, berjaga-jaga menerima semprotan dari ibu tersayangnya.

" Te... Rus?" tanya Hira menunggu kelanjutan cerita Riana. Ibunya itu masih asik melipat pakaian tanpa menoleh pada Hira sedikitpun.

Perlahan Hira duduk di kursi, meletakkan piring di atas meja dan menyendokkan 2 centong nasi ke atas piring. Kalau seandainya Riana mengomel, minimal ia tidak dilarang makan. Ia sudah sangat lapar.

" Bu Fara bilang terapi kamu tidak ada kemajuan karena kamu sendiri ga merasa butuh. Jadi, dia akan diskusikan lagi dengan Dokter Eril. Nanti akan diinfokan jadwal terapi kamu akan diubah seperti apa." jelas Riana, masih tidak menoleh pada Hira sama sekali.

Hira mengangguk pelan antara senang dan waswas. Jangan-jangan hasilnya nanti terapinya akan diperketat. Ia bisa mati kebosanan.

" Hira, memangnya kamu ga mau sembuh??"

Hira menoleh pada Riana yang akhirnya menatapnya dengan tatapan kuatir. Ada perasaan tidak enak di kerongkongan Hira melihat ekspresi ibunya.

" Hira bukannya ga mau sembuh, Ma. Hira cuma ngerasa ya buat apa berusaha mengingat saat-saat kecelakaan itu sedangkan Hira baik-baik aja dan ga ngerasa ada yang perlu diingat... Itu aja sihh.."

Hira menggigit sendoknya dan memandang Riana penuh harap agar ibunya mengerti dengan apa yang ia pertimbangkan. Tapi penjelasannya sepertinya tidak membantu. Wajah Riana malah semakin kuatir dan menjadi pucat.

Memangnya cara berpikirku salah ya? tanya Hira dalam hati. Ia merasa reaksi ibunya berlebihan. 

" Ya, udah kamu makan dulu aja." Riana membuang pandangannya dari Hira dan membawa tumpukan pakaian yang sudah dilipatnya ke ruangan belakang tempat ia biasa menyeterika baju.

Diam-diam pandangan Hira mengikuti langkah Riana. Wajah ibunya itu tampak berpikir sangat keras. Sejauh apa kekuatiran ibunya, Hira tidak bisa membayangkan. Ia merasa baik-baik saja dan terapi itu sungguh-sungguh tidak membantu sama sekali.


🎵🎶🎵🎶🎵🎶


Suara hp Hira berdering. Cepat-cepat ia merogoh tasnya dan melihat siapa si pengirim chat yang menolongnya dari berpikir terlalu berat.

BENEDICT

Hira membuka chat kejutan itu dan termangu membacanya.

Hira, inget aku ga? Aku Ben yang ketemu kamu di perpustakaan tadi siang.

Siapa yang bisa lupa sama cowo charming macam Ben? Hira menyendokkan satu suap nasi ke mulutnya sebelum ia segera membalas pesan itu.

Tentu aja gua inget. Apa kabar? Bukunya berguna ga?

Berguna sekali. Makasih ya sudah mau meminjamkan.

Ga masalah. Itu kan buku perpus. Lagian kan ga gua pake hehhehe... 😁😁😁

Besok kamu ada kuliah?

Ada. Kenapa?

Jam berapa?

Jam 10 sama jam 1.

Makan siang bareng yuk..

Errrr... Manufer Ben bagi Hira termasuk sangat cepat. Walau kelihatan polos, ternyata dia termasuk cepat dalam melakukan pendekatan.

Tunggu duluuu..

Memangnya dia sedang pendekatan?? Jangan-jangan hanya sedang cari teman.

Hira menarik napas dan membuang napasnya berusaha mengendalikan perasaannya yang antara bingung dan berdebar antusias karena tiba-tiba ada cowo mau mendekatinya. Dia tidak mau berharap terlalu banyak.

Jadi.. Apakah sebaiknya ia menerima undangannya ini?

Emang mau makan di mana?

Di mana saja boleh. Yang biasa kamu makan siang saja.

Ya sudah, di kantin aja ya? Biar ga mepet waktu gua mau masuk kelas.

Baiklah ✌️

Hira tidak membalas chat Ben lagi. Yang ada di otaknya hanyalah menceritakan semuanya pada Jenny.


Dulu Jenny sering mendorongku membuka hati pada pria kalau punya cita-cita menikah. Sekarang, ada seseorang, pangeran berkuda putih... Mungkin.. Yang tahu-tahu berinisiatif menjalin pertemanan dengannya. Bukankah ini berita BESAAARRR??!!


***

SEBELUMNYA | SELANJUTNYA



Senyumnya merekah dan tampak begitu bahagia. Bahunya yang lebar tampak semakin gagah dengan jas hitam yang dikenakannya. Bunga mawar putih yang tersemat di saku dada jasnya menyebarkan harum yang memabukkan.

Perlahan ia mengulurkan tangannya yang terbungkus sarung tangan putih. Ia mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Hira dengan lembut. Ciuman pertama yang Hira sebut sebagai hadiah berharga. Hadiah berharga yang akan ia berikan pada orang yang ia cintai.

***
Hira membuka matanya perlahan dan melihat langit-langit kamarnya yang sudah mulai dihiasi beberapa sarang laba-laba. Ia mengecap-ngecap bibirnya dan merabanya perlahan.

" Mimpi itu lagi.." bisiknya. Mimpi yang hampir setiap malam menghampirinya dan membuatnya terbangun dengan perasaan luar biasa bahagia. Bahagia bercampur bingung.

" Kenapa berasa banget ya?" Hira masih meraba bibirnya dan terbayang ciuman lembut yang ia rasakan. Benar-benar seperti sungguhan.




Sebenarnya bukan ciuman itu yang membuat Hira merasakan gejolak di dadanya, tapi pria yang memberikannya ciuman di dalam mimpinya. Pria yang selalu datang di mimpinya setiap malam, tapi tidak pernah menampakkan wajahnya. Hanya senyumannya yang dihiasi giginya yang sedikit somplak karena patah.

Dalam mimpi itu, Hira selalu merasa pria itu adalah pria paling tampan di dunia. Ada perasaan rindu dan bahagia yang meluap-luap saat bersamanya.

Sayangnya, setiap kali Hira ingin melihat wajahnya lebih jelas, Hira malah terbangun. Ia tidak pernah berhasil melihat wajahnya dan akhirnya bangun dengan perasaan rindu yang luar biasa yang akhirnya menjadi rasa kesal karena tidak tahu perasaannya mau dikemanakan. Wajah pria itu saja ia tidak tahu sama sekali.

" Mungkin dia mirip Bradley Cooper atau Hugh Jackman atau Christian Bale?? Seandainyaaa..."

Di balik selimutnya Hira masih terus bertanya-tanya sambil berkhayal. Setidaknya ia bisa berkhayal daripada ia stress sendiri mencari jawaban, siapa pria itu sebenarnya.

" Hira, kamu ga pergi kuliah??!!" teriakan Riana yang merdu membangunkan Hira dari lamunannya. Hira menoleh ke arah jam dinding di atas pintu kamarnya dan membuatnya semakin tersadar dari lamunan.

" Mateng guaaa, telatt!!" Hira menghempaskan selimutnya, menyambar handuknya dan segera berlari ke kamar mandi. Jam dinding menunjukkan pukul 9.47 dan waktunya untuk mandi hanya 13 menit. Jam 10 dia sudah harus berangkat ke kampus.

Berangkat jam 10 di hari Rabu sudah dianggap terlambat karena mata kuliah di hari itu dimulai pukul 10.30. Untuk perjalanan Hira ke kampus saja bisa makan waktu paling cepat 45 menit. Itu pun kalau ia bisa mendapat angkutan umum dengan cepat dan angkutan umumnya tidak ngetem.

Ini semua gara-gara mimpi indah itu...

*** 

Jenny menyodorkan es jeruk pesanan Hira dan duduk di depannya. Ia menyeruput es blender capucinonya sambil menatap Hira, menunggu sahabatnya itu mengatakan sesuatu.


Rambutnya yang ikal dan lembut seperti arum manis, menari-nari ditiup angin. Setiap kali melihat rambut Jenny yang seperti itu, Hira biasanya akan meremasnya dengan gemas. Bahkan terkadang ia ingin mengigitnya.Kalau sudah begitu, Jenny akan memukul kepalanya dengan keras untuk menyadarkan dirinya dari kegilaan.





Jenny memang seperti bidadari jatuh dari surga. Rambut ikal lembutnya berwarna kecoklatan, kulitnya putih bersih tanpa jerawat sedikit pun, pipinya kemerahan jika berada di luar ruangan dan terkena terik matahari. Untuk itu dia tidak perlu menggunakan blush on. Mata Jenny juga besar dan coklat terang. Dia tidak perlu memakai kontak lens untuk membuat matanya tampak lebih terang lagi (yang seperti cewe-cewe biasa lakukan). Yang paling membuat Hira ingin mencekkik Jenny setiap kali Hira memandang dan mengaguminya, Jenny punya tubuh yang tinggi ramping. Tidak terlalu kurus dan tidak gemuk. Baju apa pun yang ia kenakan pasti selalu cocok untuknya. Bahkan kalau Hira berencana belanja membeli baju, pasti akhirnya Jenny yang belanja walau pada awalnya dia hanya menemani. Sementara Hira hanya bisa gigit jari mencari baju yang benar-benar pas dengan tubuhnya yang 'bohai'.

Hira membalas tatapan Jenny dengan malas dan menyeruput es jeruknya dengan tidak kalah malasnya. Mimpinya tentang cowo itu masih terbayang setiap kali ia menutup mata. Bahkan di kelas Psikologi Organisasi tadi, yang dia sudah datang terlambat, ia masih melamun juga. Bu Yanti, dosen mata kuliahnya sampai menegurnya berkali-kali. 

" Lo mimpi soal cowo itu lagi ya?" tanya Jenny, menebak dengan hati-hati. Hira langsung mengangguk penuh semangat.

" Menurut lo aneh ga sih, Jen?? Mimpi yang sama berkali-kali. Mood gua juga jadi jelek setiap abis mimpi itu." jelas Hira dengan mata berbinar-binar. Tangannya mengepal menunjukkan kegemasannya harus mengalami hal aneh semacam mimpi yang berulang-ulang.

" Yah, ga aneh juga sih. Lo kan suka ngebet pengen cepet-cepet nikah muda." Cerocos Jenny, membuat Hira terpaku.

" Iya, juga sih. Tapi emang ada hubungannya?" Hira tidak yakin. Rasanya mimpi itu terlalu kuat membekas di pikirannya. Alam bawah sadarnya kalau menurut ilmu psikologi.

" Kalau memang cuma gara-gara gua pengen kawin muda, kayaknya ga sampai segitunya. Ini udah setahun gua mimpi yang sama. 'Kan aneh bangettt."

Hira menatap Jenny yang tidak melepas-lepas mulutnya dari sedotan capucinonya. Sahabatnya itu hanya angkat bahu dan tampak tidak terlalu berminat dengan cerita mimpi Hira ini.

Hira menopang wajahnya dengan kedua tangannya dan memandangi es capucino Jenny yang sudah mulai habis. Perlahan bayangan cowo itu muncul lagi di kepalanya dan rasa gelisah kembali menghantui Hira.

" Gila yaa... Gua sampai segininya gara-gara itu mimpi. Mending kalau itu tanda siapa yang bakal jadi jodoh gua..."

Hira memonyongkan bibirnya dan memandang Jenny lagi. Ia tertegun saat melihat ekspresi Jenny yang tampak menahan sesuatu. Ekspresinya itu membuat Hira berpikir ulang tentang kata-katanya sendiri yang baru ia ucapkan.

Tanda siapa yang akan menjadi jodohnya?? Bukankah itu mungkin saja?? Ia juga mengenal beberapa orang yang diberi tahu siapa jodoh mereka secara spiritual. Jadi, bisa saja ia adalah salah satu orang yang mengalami hal yang sama.

" Jen, jangan-jangan itu cowo memang jodoh gua!!" bisik Hira, penuh semangat. 

Jenny melepaskan gigitannya dari sedotannya dan memandang Hira dengan wajah yang pucat. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi menutup mulutnya lagi.

" Iya, mungkin saja," akhirnya Jenny mengiyakan kata-kata Hira. Walaupun Hira bisa menyadari sikap aneh Jenny, tapi ia tidak terlalu menggubrisnya. Ia terlalu bersemangat untuk mengetahui siapa sebenarnya jodoh di dalam hidupnya tersebut.

" Dia siapa ya, Jen??" tanya Hira, tanpa benar-benar berharap Jenny akan menjawabnya.

" Ya, kagak taulah. Gua aja belum pernah masuk ke mimpi lo buat liat tuh cowo."

" Heheheh... Nyebelin. Gua kan cuma nanya. Ga kudu dijawab."

" Haelah lo mah. Eh, abis ini gua ada kuliah lagi. Lo mau kemana?? Lo ga ada ketemu sama psikolog lo lagi tuh?"

Hira memonyongkan bibirnya mendengar tentang psikolog. Sudah setahun ini ia datang ke psikolog dan tidak ada kemajuan sama sekali. Ia tetap tidak bisa mengingat apa pun.

" Gua lagi males, Jen. Ga ada kemajuan. Ngapain gua ketemuan sama dia?"Hira memebereskan tasnya dan bangkit berdiri mengikuti Jenny yang akan keluar kantin yang mulai penuh dengan mahasiswa.

" Tapi kan setidaknya lo kudu coba. Emang lo ga mau inget kenapa lo bisa pingsan sebulan di rumah sakit?" tanya Jenny dengan suara membujuk.

" Udah males, Jen. Kenapa juga bukan kalian aja yang kasih tahu gua kenapa gua bisa pingsan di rumah sakit selama sebulan?"

" Lah, yang ngalamin kecelakaan kan elo. Bukan gua atau pun keluarga lo. Justru itu, kita pengen tahu."

" Oh, iya. Bener."

" Ok, gua kuliah dulu ya. Soal mimpi ga usah dipikirin. Daripada otak lo ntar tambah error. Ntar malah sampe ga inget gua lagi lo." Jenny menyeringai lebar sambil menepuk bahu Hira dengan buku kuliahnya yang beratnya 2 kilo lebih.

" Heheheh... Ok, bu. Kuliah yang bener lo." 

Jenny melambaikan tangannya dan meninggalkan Hira yang terpaku di tempatnya. Tiba-tiba merasakan ada yang kosong di dalam dirinya. Entahlah. Setiap kali ia ditinggal sendirian, ia merasakan ada sesuatu yang tertinggal. Ia tahu ada yang salah dengan dirinya, tapi ia tidak mau mengambil pusing. Hira tidak mau membuat orang tua dan sahabat-sahabatnya merasa cemas.

Hira membuka folder yang berisi dokumen kuliahnya dan melihat jadwal kuliahnya di hari Rabu. Pukul 14.00 ada mata kuliah Statistik III. Sekarang pukul 12.30, dia masih punya waktu 1,5 jam untuk 'bersenang-senang'.

Tempat biasa Hira 'bersenang-senang' di kampus bukan tempat yang bisa dikatakan tempat untuk bersenang-senang. Hanya ruangan penuh buku alias perpustakan yang khusus ada di fakultas Psikologi. Hira juga juga sebenarnya bukan penikmat buku, dia hanya ingin 'nebeng' berselancar di internet dengan menggunakan wifi perpustakan dan tentunya tempat duduk gratis dan nyaman.

Hira keluar dari lift di lantai 5 dimana perpustakaan psikologi berada. Dari jendela-jendela kaca yang besar, Hira bisa melihat kalau sedang tidak banyak siswa yang nongkrong menghabiskan waktu dengan membaca. Eh, atau seperti yang Hira sering lakukan. Numpang online. 

Kalau sedang tidak musim ujian seperti ini, perpustakaan memang lebih sering sepi. Maklum, mahasiswa Indonesia kebanyakan sibuk belajar kalau mau ujian saja. Setelah itu, dadah bye bye dan lupakan apa yang sudah dibaca.

Hira meletakkan tasnya di loker yang telah di sediakan untuk menitip barang. Ia mengambil barang-barang berharganya, handphone, dompet, laptop beserta kabelnya. Dia sudah tidak sabar ingin cepat-cepat membuka blognya.

Ya, setahun ini ia mulai banyak menulis di blog dan menuangkan apa yang ada dipikirannya. Jenny yang mengajarkannya membuat blog. Sementara Jenny sudah bosan bermain dengan blognya, Hira malah semakin getol menuliskan semua yang ada di otaknya ke dalam tulisan dan membiarkan orang lain membacanya dengan bebas.

Itu karena Hira bisa mengenal beberapa teman blog yang ternyata aktif juga menulis. Mereka saling mengunjungi setiap ada tulisan baru. Apalagi kalau tulisan yang dipostingkan benar-benar menggambarkan apa yang Hira pikirkan. Yah, rasanya bertemu orang-orang yang pemikirannya sama itu seperti bertemu keluarga yang sudah lama hilang karena dipisahkan oleh Perang Dunia II.

Masuk ke perpustakaan, Hira tidak langsung mencari tempat duduk. Ia mengambil buku yang kira-kira ok untuk dijadikan samaran seolah-olah ia sedang sibuk belajar. Ia berjalan ke arah rak buku-buku impor yang super tebal.

Cap cip cup belalang kuncup! Hira mengambil buku yang paling terakhir terkena jari telunjukny. Art and Visual Perception: A Psychology of The Creative Eye karangan Rudolf Arnheim.

Hira membawa buku itu bersama barang-barangnya ke bilik paling pojok yang kiri dari pintu masuk perpustakan. Tempat favorit Hira karena dekat dengan stok kontak listrik. Jadi, ia bebas menyambungkan listrik ke laptopnya kapan saja.

Tanpa peduli pada sekelilingnya, Hira mulai menyalakan laptopnya. Ia mulai merangkai-rangkai kata untuk postingan yang akan ia tulis nanti. Sementara ia menunggu laptopnya menyala dan siap digunakan, matanya terpaku pada meja tempat petugas perpustakan bekerja. Ibu Ira. Beliau sedang tidak ada di tempat, tapi setiap kali ke perpustakaan, Hira selalu terpaku melihat meja itu. Ia tidak ingat kenapa, tapi ada sesuatu di hatinya. Sesuatu yang manis, tapi terasa pahit juga.Iya, memang aneh.

Hira menghela napasnya, pelan. Ia berpaling kembali pada laptopnya dan mulai membuka aplikasi browsing yang biasa ia gunakan. Ia tidak langsung meluncur ke blog asuhannya. Facebook dan twitternya sepertinya perlu ia cek, walaupun ia memeriksa keduanya hampir setiap saat lewat smartphonenya.

Ada tiga notifikasi. Satu undangan untuk bermain game. Satu tag dari foto tas, dagangan temannya. Satu lagi undangan berteman dari seseorang bernama Benedict Julianto.

Untuk undangan berteman, Hira tidak mau menerima pertemanan sembarangan. Jangan-jangan orang itu seorang psikopat atau orang yang suka memperdagangkan wanita. Pokoknya dia selalu berhati-hati dalam hal ini.

Ia membuka profil cowo itu dan melihat foto profilnya. Ternyata lumayan cakep. Hira membuka 'about' untuk melihat biodata lengkap cowo ini. Tidak ada tanggal lahir, tidak ada status, hanya keterangan kampus dan jurusan.

Eh! Ternyata dia kuliah di kampus yang sama dengan Hira. Hanya saja angkatannya lebih tua dari Hira.Berarti setidaknya ia pernah papasan dengan cowo ini.

Hira jadi penasaran dengan cowo bernama Benedict ini dan mulai mengutak atik foto-foto albumnya. Dari foto-fotonya Hira bisa tahu kalau Benedict adalah anak orang berada yang bisa ke luar negeri kapan saja ia mau. Beberapa juga ada foto album pesta bersama teman-temannya.

Tapi melihat foto-foto itu Hira jadi bertanya-tanya, kenapa Benedict mau berteman dengannya?? Dia punya teman perempuan yang cantik-cantik. Luar biasa cantik malah jika dibandingkan dengan Hira.

Eh, kenapa pula dia harus bertanya seperti itu?? Memangnya kenapa kalau cowo ini mau berteman dengannya? GR sekali. 

Karena tidak menemukan ada hal yang aneh dari profil cowo ini, Hira memutuskan menerima undangan berteman. Tapi kalau akhirnya nanti tiba-tiba dia mengirimkan spam atau berubah jadi shop online atau mengupload foto-foto tidak senonoh, Hira pasti akan langsung unfriend. Dia sudah kapok dengan orang-orang tukang tipu macam yang norak seperti itu.

" Eh, tapi tadi di katalog, bukunya tidak dipinjam kok. Kemana ya bukunya? Sudah dicari dengan benar??"

Hira menoleh ke belakang mendengar obrolan dua orang yang tampak bingung. Ternyata Mira, asisten Ibu Ira dan seorang cowo yang cukup keren.

Hei!! Itu kan Benedict!!

Mata Hira terpaku melihat Benedict yang ada beberapa meter di depannya. Dia lebih keren dari yang ada di foto. Dia tinggi atletis, rambutnya hitam lebat dengan poni membingkai wajahnya, mata sipitnya dibingkai alis yang tebal dan tatapan matanya tajam, gayanya keren dan rapih. Buat ukuran anak kuliahan, dia pasti punya banyak penggemar. Dia mirip oppa Korea. Cewe-cewe pecinta Korea pasti bisa lupa daratan kalau melihatnya.



Benedict dan Mira masih terus bicara, sibuk mencari buku yang dicari Benedict. Sementara Hira masih terpaku memandang Benedict yang tampak bingung dan panik. Lama dipandangi akhirnya Benedict tersadar juga. Ia menoleh ke arah Hira dan beberapa saat tampak mematung. Ia membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya lagi. Membukanya lalu menutupnya lagi.

" Hai.." sapa Hira ragu-ragu.

" Ha..Hai.." Benedict membalas dengan nada tercekat. Ia menoleh beberapa saat ke arah Mira tadi menghilang, ia mengatakan sesuatu dan kembali menoleh pada Hira.

" Kamu.. Hira?" tanyanya hati-hati.

" Iya, tadi gua baru aja terima undangan temenan lo," jelas Hira sambil tertawa garing.

Mendengar kata-kata Hira, tiba-tiba kuping Benedict memerah, seolah-olah baru saja kepergok melakukan suatu kesalahan. Ia batuk pelan dan mendekati Hira lalu duduk di bilik sebelah bilik Hira.

Hira terkejut dibuatnya. Ia tidak menyangka cowo ini berani langsung duduk di sampingnya.

Apa dia benar-benar tertarik pada Hira? Ah, lagi-lagi Hira GR.

" Kenalin, aku Benedict. Panggil aja Ben." 

" Oh, hi Ben!" Hira melambai pada Ben dan tertawa garing lagi. Semakin terasa garing karena Ben menyebut dirinya dengan kata 'aku'. Terasa terlalu formal.

" Aku add kamu... soalnya tertarik dengan foto-foto kamu.. yang lucu," jelas Ben, gugup dan terbata-bata. Mungkin dia gagap.

Memangnya foto Hira ada yang lucu? Foto serba monyong atau muka kucel atau muka baru bangun tidur. Semuanya hasil tag dari abangnya yang sering diam-diam memotretnya hanya untuk menghina-hina dirinya.

" Foto itu kerjaan abang gua," jelas Hira,masih dengan perasaan aneh.

" Oh,abang kamu lucu juga ya. Ng...Eh!" 
Hira tersentak karena Ben tiba-tiba berseru dengan keras. Matanya tertuju pada buku yang tadi Hira ambil.

" Itu.." tunjuk Ben tanpa menyelesaikan kalimatnya.

" Lo cari buku ini?" tanya Hira sambil mengangkat buku yang berat itu.

" Iya. Aku lagi cari bahan buat skripsi aku," jelas Ben dengan penuh semangat.

" Kamu lagi pakai?" tanyanya dengan mata penuh harap.

Hira memandang buku tebal itu dan langsung agak pusing membayangkan membaca buku berbahasa Inggris dengan teori-teorinya yang cukup ngejelimet. Disodorkannya buku itu pada Ben dan dengan senang hati cowo itu menerimanya.

" Untunglah. Soalnya tinggal buku ini aja yang aku butuhin,"

Hira mengangguk mengerti dan kembali menghadap laptopnya walau sebenarnya ia masih penasaran dengan Ben. Lama Hira berpura-pura sibuk dengan laptopnya dan merasa aneh karena Ben sepertinya masih ada di sebelahnya. Ia menoleh ke arah Ben dan memang dia masih di sana. Termangu memandangi Hira.

Wajah Hira langsung terasa panas karena dipandangi dengan serius. Ben yang menyadari ketidak nyamanan Hira langsung menundukkan pandangannya.

" Sori, aku lagi mikir buat minta nomor hp kamu."

Eh, agresif sekali dia!

Hira memandangi Ben yang tampak gugup luar biasa. Hira jadi merasa iba. Jangan-jangan dia memang punya banyak teman cantik, tapi tidak ada satu pun yang mau padanya.

Ah, masa sih orang seperti dia?!

Merasa Ben orang yang tidak berbahaya, Hira menyebutkan nomor teleponnya dan Ben bergegas menyimpan nomor itu di iphonenya. Iphone keluaran terbaru. Wahh...

Hira terpaku melihat gambar apel digigit yang tersemat diponsel Ben. Ia tidak tahu bakal bisa punya teman orang yang memiliki barang mewah itu. Selama ini teman-temannya tidak ada yang benar-benar tajir. Kalau pun punya barang mewah, pasti hasil kartu kredit yang dibayar orang tuanya.

Mungkin Ben sebenarnya orang yang sejenis.

" Aku miss call, ya?" Ben meminta ijin. Hira mengangguk dan mengeluarkan hp android merk cinanya.

Saat telepon masuk dan nada dering mati, Hira segera menyimpan nomor itu. BENEDICT.

" Ng.. nanti aku hubungin ya. Sekarang aku harus balik. Ketemu dosen pembimbing." 
Hira mengangguk mantap dan melambaikan tangan penuh semangat. Ia berharap Ben cepat-cepat menghilang dari hadapannya. Ben memang keren, tapi ia membuat Hira merasa tidak nyaman.

Mungkin karena dia terlalu keren untuk menjadi teman Hira??

***

PROLOG | SELANJUTNYA







Putih. Putih. Putih..
Hanya ada warna putih di depan matanya. Oh, dengan sedikit bercak-bercak berwarna biru. Apa itu sebenarnya??


Hira menutup matanya kembali dan mengerutkannya lebih dalam. Saat ia membukanya kembali, ia baru melihat dengan jelas warna putih yang lebih menyilaukan diantara putih yang bebercak biru itu.


Warna putih terang itu adalah lampu dan warna putih dengan bercak biru itu adalah langit-langit ruangan.


Dia ada dimana??

Hira menoleh ke kiri dan di sana ia melihat jendela-jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota Jakarta dengan berbagai kelap kelip lampunya. Jutaan bintang imitasi buatan tangan manusia.


Ia menoleh ke kanan dan tertegun melihat Riana, ibunya, tertidur pulas di sofa dengan berselimut kain bermotif panda. Selimut kesayangan Hira.


" Ma...", Hira memanggil dengan suara parau. Ia tertegun dengan suaranya yang sangat serak dan hampir tidak terdengar sama sekali.


Ia meraba tenggorokannya yang terasa kering. Beberapa saat ia menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Ada sesuatu di hidungnya. Seperti sebuah selang yang dimasukan dari hidung dan melewati kerongkongannya. Ujung selangnya direkatkan di pipi kirinya. Apa ini?



Hira semakin terkejut saat melihat tangan kirinya yang dibalut perban dan diantara perban keluar selang kecil yang mengalirkan cairan bening yang terdapat di kantung bening berlabel merah, tergantung di sebuah tiang.



Eh, ini bukannya diinfus? Pikir Hira tersadar. Ia membelalakkan matanya dan baru ingat kalau ia sangat takut dengan jarum suntik. Apalagi kalau diinfus.



" Ma...!" Hira berseru dengan suara seraknya dan berusaha duduk di tempat tidurnya, tapi tepat saat itu tiba-tiba kepalanya terasa seperti dipukul dengan keras. Ia pusing sekali. Ruangan itu seperti bergoyang dan ia menjadi mual.



" Ma...!" panggil Hira, semakin panik. Ia memegangi kepalanya sambil tetap berusaha bangkit dari tempat tidur. Ia berusaha menapak di atas kakinya tapi, ia merasa seperti kehilangan semua tenaganya. Seketika ia kehilangan keseimbangan dan berlutut di lantai.


Kepalanya yang sakit dan pusing masih terus berdentam-dentam seolah ada sesuatu yang memaksa ingin keluar dari kepalanya. Rasa pusing itu perlahan-lahan menjalar ke perutnya dan membuat perutnya bergejolak. Tanpa bisa menahannya, Hira memuntahkan isi perutnya yang hanya berwarna kekuningan.


" Hira!! Ya, Tuhan!!" Riana yang sudah terbangun langsung menggapai Hira dan membantu putri bungsunya agar duduk di sofa. Ditariknya tiang tempat menggantungkan infus agar pipa infus tidak tertarik hingga melukai tangan Hira.


Dengan tubuh yang gemetar karena rasa pusing di kepala dan mual di perutnya, Hira menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa. Ia menutup matanya beberapa saat berusaha meredam rasa sakit di belakang kepalanya. Ia menarik napas pelan dan membuangnya sedikit-sedikit. Cara yang cukup berhasil untuk menahan pusing di kepalanya.


Ia membuka matanya dan menoleh pada ibunya yang sudah tersenyum lebar bercampur cemas. Sepertinya Hira sudah banyak membuat ibunya khawatir. Buktinya mata ibunya sampai berkaca-kaca melihatnya terbangun.


" Hira, akhirnya kamu bangun, Nak," bisik Riana sambil mengusap rambut Hira dengan sayang. Seperti tidak tahan dengan rasa senangnya, Riana memeluk Hira erat-erat hingga gadis itu megap-megap.


" Memangnya Hira tidur berapa lama, Ma?" tanya Hira, setelah Riana melepaskan pelukannya.


" Kamu sudah ga sadarkan diri sebulan ini. Mama Papa kira kamu koma tapi dokter bilang kamu cuma tertidur. Tidur yang panjang," jelas Riana, dengan suara berbisik dan mata yang tidak lepas memandang putrinya, meyakinkan dirinya tidak sedang bermimpi. Ia hampir saja kehilangan harapan kalau Hira akan bangun, tapi ternyata Tuhan menjawab doa-doanya.


Ia menatap Hira yang ternganga, tidak percaya kalau dia bisa tertidur selama satu bulan. Riana memeluknya lagi dengan lembut dan mengusap rambut Hira dengan sayang. Hatinya begitu lega.


" Memangnya Hira kenapa, Ma?" tanya Hira membuat Raina melepaskan pelukannya.


Hira menatap mata ibunya, menunggu penjelasan. Ia tidak bisa mengingat bagaimana ia bisa berada di rumah sakit, bahkan pingsan sampai sebulan.


Riana tidak menjelaskan dan malah tampak sangat terkejut.


" Kamu tidak ingat apa-apa?" tanya Riana, bingung.


Hira berusaha mengingat-ingat, tapi seiring ia semakin berusaha mengingat, kepalanysa semakin terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk paku.Ia menutup matanya rapat-rapat dan memegang kepalanya dengan kuat karena rasa sakit yang tak tertahankan.




" Hiraa..?!"




" Hira.. Ga bisa ingat.." bisiknya, sambil menahan sakit.




" Ya, udah. Ga usah diingat. Mama panggil dokter dulu ya."




Hira mengganguk pelan dan membiarkan ibunya meninggalkannya sementara ia terus memegangi kepalanya yang nyeri. Saat Riana menghilang dibalik pintu, Hira kembali menenangkan diri, menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Ia melakukannya berkali-kali hingga rasa sakit di kepalanya reda.




Ia menutup matanya perlahan dan kembali mencoba mengingat apa yang terjadi. Mengapa ia bisa ada di rumah sakit ini dan tidak sadarkan diri hingga sebulan lamanya. Ia mencari diantara memori di kepalanya dan perlahan bayangan putih, merah, biru, jingga terbersit di kepalanya. Hira berusaha semakin keras untuk mengingat, tapi yang muncul wajah orang tuanya, wajah sahabat-sahabatnya. Kejadian yang terakhir ia ingat hanya ia tidur di kamarnya setelah menulis beberapa laporan untuk tugas kuliahnya. Hanya itu.




Lalu warna biru, putih, jingga dan biru itu apa ya? Hira mengira-ngira, tetapi tidak dapat menemukan jawabannya. Yang ia yakini hanya warna itu yang bisa menjawab pertanyaanya mengapa ia bisa pingsan sampai 1 bulan dan tinggal di rumah sakit dengan berbagai selang menempel di badannya.




Mungkin nanti orang-orang terdekatnya bisa menjawabnya....


***

TOKOH | SELANJUTNYA


Dia bernama Penat
Merayap 
Di sisi-sisi sempit roda gigi waktu
Antara detik dan menit
Menit dan jam
Jam dan hari
Hari dan minggu
Minggu dan bulan
Bulan dan tahun. ..

Gelap...
Semuanya gelap...
Tidak...
Aku masih bisa melihat diriku..
Tapi sekelilingku gelap...

Hitam..
Pekat..

Satu langkah...
Dua langkah..
Aku memberanikan diri melangkah...

Ke arah mana yang benar?
Kanan atau kiri?
Bagaimana aku bisa tahu kalau semuanya hitam
Pekat..


Mungkin ini bukan cinta. Hanya obsesi atau mungkin ambisi.
Aku sudah berusaha berpaling darimu. Tapi, entah mengapa sulit bagiku.
Kamu..
Seperti bagian dari diriku. Seperti potongan puzzle yang selama ini aku cari.
Cara berpikirmu. Caramu merasa. Caramu bercanda. Bahkan caramu tertawa.... Mengapa terasa begitu nyaman bagiku?
Aku tidak merasakannya pada yang lain. Aku tidak menemukannya dari yang lain. Tidak. Mengapa aku tidak bisa menemukannya??
Kau tahu??
Setiap kali menyadari keberadaanmu, jantungku melompat kegirangan hingga terasa pedih dan tersayat.
Apakah aku menginginkanmu?
Aku tidak tahu
Aku hanya tahu, aku nyaman ada di dekatmu
Aku ingin berlama-lama di sisimu
Tapi tentu saja tidak bisa yaa..
Hanya kesempatan-kesempatan ini yang bisa membuat aku bisa ada di dekatmu
Walau kesempatan ini selalu menyakitkan
Dan mungkin..
Inilah saat yang paling menyakitkan..
Sudahlah..
Aku akan melepaskan rasa ini
Aku akan meninggalkan kerinduan ini
Bukan
Bukan aku menginginkanmu jadi milikku
Aku hanya nyaman ada di dekatmu
Seolah kau belahan jiwa yang kucari
Kenyataannya tidak demikian...
Sayangnya tidak demikian...
******
"Tania, makasih ya buat acaranya. Keren banget. Tim kamu bekerja dengan sangat luar biasa."
Aku berpaling pada suara renyah itu dan tersenyum puas. Satu pelanggan dipuaskan atas pelayanan tim kami.
"Sama-sama, Dan. Sudah jadi kewajiban kami tentunya."
" Sekali lagi thank you yaaa."
Danu menyalam tanganku erat. Yang artinya sebagai perpisahan.
"Happy Wedding.." aku tersenyum lebar walau terasa pahit di lidahku.
Danu mundur perlahan seolah agak berat memalingkan wajahnya. Dia membuatku agak grogi dengan tindakannya itu. Akhirnya ia melambaikan tangannya dan berbalik menghampiri bidadarinya.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku..
Aku tak tahu apa...
****
Wajah itu lagi..
Mengapa kau memandangnya dengan cara itu? Pahitkah hatimu melihatnya?
Berkali-kali aku menemukan matamu memandangnya dari kejauhan. Aku tak mengerti artinya. Tapi aku tahu di sana ada kesedihan.
Apakah kau jatuh cinta padanya? Apakah kau menginginkannya? Tapi dia sudah menikah. Ya, hari ini lebih tepatnya.
Sudahkah kau melepaskannya? Atau kau masih berharap?
Kau menundukkan kepalamu dalam saat ia sudah keluar dari ballroom. Kau menarik napas dalam seolah paru-parumu tertindih begitu berat.
Katakan padaku..
Aku ingin tahu..
Apa yang ada di hatimu
Pikiranmu..
Apakah kau menginginkannya??
Apakah kau mencintainya??
Aku ingin tahu..
*****
Aku melepaskanmu..
Tania lepaskan dia..
Lepaskan dia..
Biar dia hanya menjadi kenangan indah.
Kenangan indah yang tidak perlu disimpan lama.
Aku menarik napasku dalam dan tak kusangka begitu sesak dan berat. Sebegitu berpengaruhnya dirimu terhadapku ternyata.
Aku tak menyangka..
Aku berbalik ke arah ruang tunggu untuk membereskan barang-barang tim WO kami dan tersentak. Di sana Ryan berdiri bersandar di pintu menatapku tajam dan penuh selidik.
Apakah aku kepergok??
Ryan tersenyum kaku padaku dan pastinya itu artinya ia melihat semuanya. Ekspresiku? Caraku menatap Danu? Caraku menarik napas? Apa saja yang dia lihat??
" Sudah selesai."
Tiba-tiba Ryan bicara. Aku tak mengerti apa maksud "sudah selesai". Dia bicara tentang perasaanku pada Danu atau tentang acara hari ini? Aku akan menganggapnya sebagai "acaranya sudah selesai".
" Iya, thank you ya buat kerja bagusnya!! Akhirnya kita bisa istirahat." Ujarku penuh semangat. Berusaha melepaskan ketegangan dibahuku.
Aku..malu kalau Ryan benar-benar memergoki perasaanku. Rahasia terdalamku.
"Yuk, pulang!!" Aku berjalan melewati Ryan untuk masuk ke ruang tunggu, mengambil tasku.
Singkat, tapi begitu memukul, tiba-tiba Ryan menepul bahuku mantap.
" Lo akan baik-baik aja." Ia tersenyum lebar. Tatapannya penuh keyakinan mendukungku.
Mulutku terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Ryan masih memandangku penuh keyakinan. Seolah keyakinan itu mengalir ke dalam hatiku, aku pun merasa aku akan baik-baik saja.
"Thanks.." bisikku pelan.
Tidak banyak kata-kata yang kami ucapkan saat aku dan Ryan melangkah masuk ke ruang tunggu bergabung dengan tim kami. Dengan suara pelan dan dalam ia menceritakan patah hatinya yang pertama di kelas 5 SD.
Jadi, dia pikir aku patah hati?? Ya, mungkin saja...
Tiba-tiba saja beban itu hilang. Tindihan di dada itu lenyap.
Karna seseorang memergokiku "patah hati"...
Aku ketahuan...
Dan dia tidak diam...
Terima kasih...
"Berapa lama?" Aku bertanya tanpa memandangnya.
" Tiga bulan."
Tiga bulan bukan waktu yang lama. Dia pernah meniggalkanku selama 6 bulan dan aku bersabar menantinya dalam kesetiaan.
Tapi.. itu waktu kami masih pacaran. Belum ada status ikatan. Belum ada cicin di jari manis kami. Belum ada si kecil di dalam perutku.
"Ga bisa ditolak ya?" tanyaku bergetar dan dengan senyuman yang kaku.
Aku tahu pasti jawabannya, tapi masih berharap dia punya jawaban lain.
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Malahan ia memandangku dengan tatapan sedih.
Ah, seharusnya aku tidak seperti ini. Seharusnya aku melepasnya dengan keberanian. Supaya ia bisa tenang saat bertugas.
Bukankah aku sendiri tahu bahwa ini adalah salah satu resiko menjadi istri seorang abdi negara. Seorang tentara.
" Maaf, ya sayang." Bisiknya sambil menarikku dalam pelukannya.
Aroma parfumnya yang bercampur dengan keringatnya menyeruak mengisi kepalaku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Selama 3 bulan aku akan merindukan wangi ini.
" Ga apa kok. Beritanya agak mendadak aja. Kamu ga usah kuatir. Aku akan jaga diri. Ada ibu juga yang nemenin aku kan."
Ia melepaskan pelukkannya, tapi aku langsung menariknya kembali.
" Yang penting kamu harus pulang dengan selamat. Pulang pas di bocah udah brojol." bisikku penuh tekanan dan paksaan.
Ia tidak menjawab. Hanya memelukku semakin erat dan meninggalkan kecupan berkali-kali di kepalaku.
Aku anggap itu 'iya'.
*****
" Mereka itu bodoh atau bagaimana??!!"
Aku berteriak keras pada ibuku.
Bukan. Bukan membentaknya. Bukan marah padanya.
Aku marah pada dua orang yang datang tadi siang dan memberikan kabar pada ibu. Kabar yang harusnya aku dengar langsung, bukan dari ibu.
Dadaku penuh dan langsung ingin meledak saat ibu menceritakan semuanya dengan hati-hati.
Tidak. Bukan karna mereka tidak mengabarkan berita itu secara langsung padaku. Bukan itu.
Berita itulah yang membuatku marah.
Aku marah karna perasaanku benar. Kegelisahaanku benar. Aku tidak bisa mengakuinya.
Aku harap semua yang aku dengar tadi hanya omong kosong. Hanya gurauan yang keterlaluan.
Aku menatap wajah ibu yang perlahan menitikkan air mata. Matanya bengkak. Ia pasti menangis selama aku ada di luar membawa Matius imunisasi di rumah sakit.
" Ibu kenapa menangis?" tanyaku dengan suara tertahan.
" Mereka tidak menemukan mayat. Bagaimana bisa mereka bilang sudah meninggal?"
Mendengar kata-kataku ibu semakin keras menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
" Ibu, aku bukan janda. Suamiku ada di luar sana. Ibu jangan menangis. Mereka hanya belum menemukannya."
Iya, pasti begitu...
Aku masuk ke kamar dan meninggalkan ibu yang menangis semakin keras. Aku tak mau ikut berduka dengannya karena memang tidak ada yang perlu aku dukakan.
Lebih baik aku memikirkan Matius. Sebentar lagi dia pasti bangun. Usianya sudah 9 bulan dan sangat pintar. Walau hanya lewat foto, ia bisa tahu siapa ayahnya.
****
" Bu, besok kita jadi ke tempat ayah?" Matius berlari ke arahku dan memelukku dari belakang dengan penuh antusias. Ia melingkarkan tangannya di leherku lalu mengecup pipiku dengan sayang.
Usianya sudah 6 tahun. Pintar bicara seperti ayahnya. Wajahnya persis sama seperti ayahnya waktu kecil. Hanya tahi lalat di keningnya yang membedakan ia dengan ayahnya.
" Iya, jadi." Jawabku pelan sambil membalas ciumannya dan kembali berkutat dengan kesibukanku memotong sayuran.
" Ius mau tunjukin gambar Ius ke Ayah ya buuu..."
Matius menunjukkan hasil gambarnya padaku dengan penuh semangat. Gambar aku yang menggandengnya dengan ayahnya yang melayang di atas dengan sayap.
" Iya, Ayah pasti senang."
Matius langsung berlari kembali ke ruang keluarga dan sibuk dengan pensil warnanya. Ia menambahkan beberapa detail pada gambarnya sambil bersenandung ria.
Entah harus berapa lama lagi aku bertahan. Berpura-pura mengakui kau sudah tiada.
Sayang, percayalah aku menganggapmu sudah tidak ada hanya supaya mereka melepaskanku dari rumah sakit itu. Mereka memberiku banyak obat. Mereka pikir aku akan membahayakan Matius. Padahal aku hanya ingin membawa dia padamu.
Sayang, aku harap kau segera pulang. Aku lelah membawa Matius ke kubur kosong itu. Mereka menguburkan peti kosong dan terus mengatakan kau sudah tak ada.
Mereka gila, tapi malah mengatakan aku yang gila karna aku tidak percaya kau sudah tak ada.
Cepatlah pulang, Sayang. Supaya aku berhenti bersandiwara. Supaya aku buktikan pada mereka bahwa aku benar.
" Ndukkk!!!"
Aku tersontak mendengar jeritan ibu. Bergegas aku berlari menemuinya di ruang tamu. Ia menahan mulutnya dengan kedua tangan dan wajahnya tampak pucat pasi. Matanya terbelalak seperti akan keluar.
Aku mengikuti arah pandangannya dan seketika sekujur tubuhku terasa mati rasa. Aku tidak bisa bergerak. Otakku seperti tidak bisa berpikir. Aku ingin muntah.
Dia menatapku penuh permohonan maaf. Kulitnya yang hitam legam membuatku hampir tak mengenalinya. Setengah wajahnya rusak oleh bekas-bekas luka. Tapi tatapan matanya tak mungkin membuatku salah mengenalinya.
" Maaf..." katanya terdengar begitu jauh.
" Maaf..." katanya lagi dengan suara bergetar.
Aku ingin bicara. Tapi bibirku kelu. Aku melihatnya menjatuhkan tasnya yang usang dan berlari ke arahku. Tangannya yang hitam legam... Itu hanya 1 tangan... Satu tangan itu meraihku dan langsung memelukku erat.
Aroma keringat menyeruak memenuhi kepalaku. Bukan parfum yang wangi, tapi aku tahu aroma ini.
Bertahun-tahun aku tak menangis, hari ini air mataku mengalir deras. Aku menjerit menumpahkan sesak di dadaku. Aku ingin muntah. Aku ingin marah, tapi aku bahagia.
Tuhan, aku pikir aku gila.... Dia pulang.
PIXABAY


Berapa lama lagi aku harus menunggu? Berapa kali lagi aku harus mengerti?

Mereka bilang cinta itu sabar. Seberapa sabar?

Mereka bilang cinta itu penuh pengertian. Sejauh apa aku harus mengerti??

Aku meremas rokku yang sudah basah oleh air hujan. Payung tak bisa lagi menahan air hujan yang membasahi setiap sudut kota Jakarta.

Lagi..lagi aku menunggunya. Menunggu seperti orang bodoh. Tanpa kabar. Tanpa berita.

"Kita ketemu di Cafe Situ jam 7 yaa." Begitu katanya.

Dengan penuh semangat dan harapan aku tiba di sini setengah 7. Tentu saja dia belum muncul.

Katanya, "Ini sebagai permintaan maafku. Aku akan traktir kamu."

Suaranya begitu mesra membujuk. Lalu.. Aku percaya. Ya tentu saja aku percaya pada kata-kata cinta selalu memberi kekuatan untuk selalu bersabar.

Tapi... Apa aku harus bersabar lagi? Ini sudah pukul 9 malam. Aku menunggunya dengan sabar. Aku menghubunginya berkali-kali. Tidak diangkat. Aku chat, tidak dibaca.

Apakah di mempermainkanku??

Aku lelah menunggu. Aku selalu menunggunya. Sejam. Dua jam.

Ia bilang ia sedang bersama teman-temannya. Lain hari ada temannya minta diantar. Lain hari lagi ia harus latihan band.

Aku selalu mengerti. Karna memang aku hanya perempuan kuper yang tidak banyak kegiatan. Waktuku begitu luang. Tidak seperti dirinya yang dalam satu minggu, 7 hari, 24 jam selalu punya kegiatan.

Mungkin kami memang bukan pasangan yang seimbang. Mungkin aku memang tidak pantas mendampinginya. Mungkin aku.... Kami... putus saja...

Aku..
Aku hanya seperti perempuan gila yang mengekornya dari belakang. Berharap ia menoleh lalu mengulurkan tangan membawaku pergi bersamanya. Tapi, dia seorang seniman. Hatinya tidak pernah terikat pada 1 hati. Tidak.

Sampai hari ini... aku masih sama. Perempuan gila yang mengejarmu dari belakang. Yang tidak akan kau anggap sebagai sesuatu yang pantas kau pertahankan... aku....

******

Lagi.. lagi aku membuatnya menunggu. Kali ini di bawah hujan deras. Ia basah kuyup. Ia tertunduk dengan bahu yang lemah.

Lagi-lagi aku melakukannya. Membuatnya menungguku. Saat aku sibuk dengan teman-temanku, saat aku asik memainkan gitarku atau bercanda dengan teman-teman perempuanku.

Dia selalu menungguku dengan sabar. Sering kali ia tetap tersenyum sekali pun aku terlambat 1 jam, 2 jam. Dia sabar menghadapiku.

Apakah kali ini dia akan sama? Saat aku mulai menyadari, hanya dia yang selalu menungguku. Hanya dia yang selalu menyambutku dengan segala kegagalanku sebagai manusia. Sebagai seorang pria.

Bouqet mawar putih di tanganku telah hancur oleh hujan dan angin. Kotak cincin di kantongku tak lagi berharga karna aku kehilangan isinya.

Dua jam aku menerobos hujan dan kemacetan Jakarta. Berharap aku tidak terlambat.

Tapi..
Aku terlambat lagi. Dia di situ menungguku dalam dinginnya malam dan hujan.

Aku mendekat dan ia mengangkat kepalanya. Biasanya wajah itu tersenyum lebar menyambutku, tapi kali ini dia diam. Matanya tampak kosong menatapku.

"Maaf. Aku terlambat." Seruku melawan suara hujan. Aku mengulurkan bouqet mawar yang sudah tak berbentuk.

Maafku...
Entah maaf yang sudah ke berapa. Biasanya aku yakin ia akan memaafkanku, tapi kali ini...

"Selesai..." bisiknya membuatku terpaku.

Apanya yang selesai? Pertanyaan yang tak bisa kuucap. Tapi cukup untuk membuat jantungku melorot.

Apakah maksudnya selesai adalah 'itu'? Aku tidak mau berasumsi.

Ia melangkah mendekatiku, mengambil biuqet dari tanganku dan berbisik tajam. Bahkan suara hujan seperti hilang tiba-tiba.

"Kita putus."

Dia melewatiku. Mengangkat tangannya menghentikan bus umum yang lewat. Itu bukan bus jurusan ke arah rumahnya.

Dia mau ke mana??

Putus??

Kata itu mulai membuat perutku mulas.
Aku hanya bisa berdiri di tengah hujan. Mengulang kata-kata itu di kepalaku.

Putus.

Apakah akhirnya aku kehilanganmu??


Jakarta,16022016


Newer Posts Older Posts Home

Buku Anak

Buku Anak
Buku “Menjadi Kakak” ditulis oleh Mesty Ariotedjo (dokter spesialis anak), Grace Sameve (psikolog anak), Reda Gaudiamo (penulis buku anak), dan Bellansori (ilustrator).

ABOUT ME

“Artists use lies to tell the truth. Yes, I created a lie. But because you believed it, you found something true about yourself.” ― Alan Moore, V for Vendetta

POPULAR POSTS

  • REMEMBER YOU: Ben, Kau Gila!
  • REMEMBER YOU: Luka
  • Remember You - Prolog
  • Alien
  • REMEMBER YOU: Membayar Kesalahan

Categories

A Jar Of Cookies 1 break up 1 broken heart 1 CERPEN 9 CERPEN KRISTEN 4 CoratCoret 1 FF 9 flash fiction 3 hitam 7 Novel 11 Poems 9 ProyekMenulis 3 puisi 5 putus 1 Remember You 13
Powered by Blogger.

Search This Blog

Recent in Recipes

About Me


“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.” ― Michael Scott, The Warlock

Popular Posts

  • REMEMBER YOU: Ben, Kau Gila!
  • REMEMBER YOU: Luka
  • Remember You - Prolog

Jasa Lukisan Wajah

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates